Friday, December 10, 2010

Belajar dari Seorang Perancis, Robin Dutheil

Bertepatan dengan hari anti korupsi sedunia, 9 Desember 2010, saya ikut teman ke sebuah rumah kos di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, dekat gedung Sampoerna Strategic. Saya berangkat bersama Joko Prayitno, Sarah Ghariza, dan Tya Gita Kirana. Tujuannya, bertemu seorang bule. Tiga teman saya itu hendak mewawancarai bule, untuk tugas akhir mata kuliah Bahasa Inggris 3.

Sesampainya di rumah kos, jam 7 malam, bule yang dimaksud belum tiba. “Mereka masih di jalan. Sebentar lagi sampe ko,” ujar Gita. Gita sudah kenal sebelumnya dengan salah seorang bule itu.

Tak lama datanglah dua bule. “Hallo, selamat malam.” Dengan sahaja mereka memperkenalkan diri.

“Hallo, aku Robin. Ini teman saya, Jonas,” Robin memperkenalkan temannya. Jonas pun memperkenalkan dirinya kepada saya. “I’m Jonas.”

“Hallo, I’m Adit.”

Lidah Jonas keserimpet menyebut nama saya. “Adi,” ujarnya.

“No, Adit. A. D. I. T. Use ‘t’,” tegas saya.

Lagi-lagi lidahnya masih keserimpet, “Adi … Adi.” Saya geli sendiri mendengarnya. Hingga akhirnya Jonas hampir benar menyebut nama saya.

Saya pikir usia mereka mendekati 30. Ternyata salah, Robin berusia 25, dan Jonas 23, sepantaran dengan saya. Sulit bagi saya memprediksi usia bule. Mungkin karena terbiasa menilai usia orang sekitar berdasarkan sikap, raut wajah, dan gaya bicara.

Dua turis asal Paris ini, habis jalan-jalan keliling Jakarta. Robin mengenakan kemeja cokelat, celana jeans dan sandal. Bagian pundak kemejanya berkeringat, ceplakan tas ransel. Posturnya tidak tinggi, sekitar 165 cm. Cukup kecil untuk ukuran orang Eropa. Sementara Jonas, berpostur tinggi besar. Saya sampai melonga saat bicara dengannya. Gaya Jonas seperti ABG pada umunya, ia kenakan kaos putih bermotif ceria, celana jeans dan sweater hitam.

They are my new friends, Robin Dutheil and Jonas Clement. They came from Paris, France. They so funny, friendly, and earthy. I share the culture with them.

Robin baru setahun tinggal di Kuningan, tapi bahasa Indonesianya sudah lancar. Sementara Jonas, baru hitungan minggu berada di Indonesia. Ia baru bisa ngomong bahasa Indonesia pengantar, macam; selamat pagi, terima kasih, dan capek.

Kami naik ke lantai dua. Robin dan Jonas menyewa kamar kos di blok F, nomor 1. Sambil menunggu Jonas mandi menyegarkan diri, Robin ajak kami ngobrol di depan kamar. Kami duduk di lantai. Robin lah promotornya. “Saya suka duduk di lantai.” Padahal, ada kursi panjang yang muat diduduki sampai 10 orang. Pembicaraan sangat seru, menyenangkan, tidak garing. Robin bercerita pengalamannya di Indonesia. Ia mengajar bahasa Perancis di Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Bintaro. Ia juga bekerja sebagai web designer, animator, dan pembuat game. Segalanya tentang Robin bisa dilihat di web pribadinya; www.rabou.eu/. Web ini sangat elegan dan futuristik.

Saya kagum dengan Robin, ia bicara bahasa Indonesia dengan lancar. Seperti sedang bicara dengan orang Indonesia. Saya iseng tanyakan apa rahasianya agar bisa dengan cepat berbahasa Indonesia.

Robin menjawab, “Hiduplah sendiri, tanpa teman dari negara asal kamu. Dengan begitu, kamu akan cepat mempelajari suatu bahasa.”

Saya terkejut dengan jawaban Robin. Ini seperti pepatah; sambil menyelam minum air. Sambil bekerja, belajar bahasa. Teman saya, Joko, terkesima dengan jawaban Robin. Pernyataan itu sangat mengena di hatinya. “Gua suka jawaban itu.” Joko seorang perantau dari Padang yang mengemban pendidikan di Jakarta.

Robin bercerita tentang temannya yang sudah 4 tahun tinggal di Indonesia, tapi hanya bisa bicara; selamat pagi, selamat siang, selamat malam, dan terima kasih. Itu karena dia tidak membiasakan berbahasa Indonesia. Di lingkungan kerja, ia selalu bicara bahasa Inggris dan Perancis. Intinya, harus practice, practice, and practice!

Robin meramalkan Jonas tak akan cepat berbahasa Indonesia. Karena dia tinggal bersama Robin, teman dekatnya. Sejak Jonas tiba di Jakarta, Robin jadi pemandu wisata, yang memberi pengertian dengan bahasa Perancis. Di kamarpun, mereka gunakan bahasa Perancis atau Inggris. Jonas jarang berbahasa Indonesia. Jika Jonas bingung dengan arti bahasa Indonesia, Robin jadi penerjemah. Jonas tak menemukan kemandirian berbahasa yang sejati, begitu kira-kira analoginya.

Jonas selesai mandi, kini giliran Robin menyegarkan diri. Jonas keluar kamar dengan kaos lengan buntung dan celana pendek. Ia ikuti jejak Robin, dengan duduk di lantai. Ia kembali mengingat nama kami. Disebutnya satu per satu. Lagi-lagi Jonas keserimpet menyebut nama saya. “Adi.”. Huruf ‘t’ di belakang nama saya ketinggalan. Hahahaha.

Pembicaraan dengan Jonas tak kalah seru. He’s so funny, sekaligus iseng. Berkali-kali ia isengi Gita. Sarah juga tak luput dari keisengan Jonas.

Saat Sarah mengeluarkan handycam, Jonas berucap, “that’s so beautiful.”

Sambil tersenyum Sarah menjawab, “Thank you, Jonas.”

“No… no… no…. Not you. But that’s handycam.”

Kami tertawa dengan guyonan Jonas. “Becandaan kayak gitu juga ada di Eropa, ya?” ujar saya.

Tak lama Robin keluar, dengan kaos hitam yang dimasukan ke celana jeans. Ia dengar kami bicara dengan Jonas menggunakan bahasa Inggris. “Oke, kita gunakan bahasa Inggris,” tantang Robin. Tiap kali di antara kami ada yang berbahasa Indonesia, Robin dan Jonas langsung memotong, “Come on, English please. Practice! Practice!” Mereka ajak kami untuk berani berbahasa Inggris. Salah tak masalah, yang penting nekad.

Jonas dan Robin sudah menyegarkan diri, mereka ajak kami mempersingkat waktu. “We can start the interview? Want to outside or inside the room?” Kami pilih di kamar. Agar dapat meminimalisir noise jalan raya dan angin.

Robin and Jonas in Bali
Di dalam kamar, ada peta Indonesia, Sulawesi, dan Jabodetabek. Robin pernah berwisata ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Wow, dia sudah keliling Indonesia. Dan sepertinya ia memang jatuh cinta dengan Indonesia, terutama Toraja dan Bali.

Robin dan Jonas, keduanya menggunakan MacBook Pro. Robin beli di Indonesia, Jonas beli di Paris. Saya baru tahu, Perancis punya standar sendiri menentukan tata letak tombol pada keypad handphone atau keyboard komputer.

Indonesia, dan kebanyakan negara di dunia, menggunakan standar tata letak QWERTY. Nama itu diambil berdasarkan urutan alfabet Q, W, E, R, T, dan Y, yang berada di baris paling atas pada keyboard. Tata letak QWERTY ini pertama kali digunakan pada mesin tik buatan E. Remington pada 1874.

Perancis dan Belgia lain sendiri, mereka gunakan tata letak AZERTY. Jadi, baris paling atas pada keyboard-nya adalah A, Z, E, R, T, dan Y. Tombol-tombol yang bertukar antara lain; A bertukar dengan Q. Z dengan W. M pindah ke sebelah kanan L, menggantikan posisi tombol titik dua/titik koma. Dalam format AZERTY, ada beberapa tombol tambahan guna mendukung aksen bahasa Perancis, seperti é, à dan ô, serta beberapa simbol-simbol lain seperti œ, yang tidak ada dalam bahasa Inggris. Saya pun tak mengerti cara mengoperasikannya, karena tak bisa berbahasa Perancis. Hehehe.

Hal lain yang menarik perhatian saya dari isi kamar Robin, ada tumpukan bumbu dan rempah-rempah khas Indonesia. Robin dan Jonas membelinya di pasar tradisional untuk dikirim ke seorang rekan di Perancis, yang hendak memasak masakan Padang.

Robin Shopping in traditional market

Rasanya sudah cukup saya memperhatikan isi kamar Robin. Kembali lagi ke tujuan utama, mewawancarai seorang bule. Robin melihat daftar pertanyaan. Ia mengoreksi tata bahasa yang salah, dan menerangkan dengan jelas bagaimana yang benar. Saya menilai ia orang yang perhatian dan peduli.

Kami sudah memutuskan untuk merekam wawancara di kamar kos Robin. Tapi, kamarnya tidak terlalu besar. Sudah penuh dengan spring bed ukuran nomor 2, meja televisi, kulkas, dan lemari pakaian yang cukup besar. Ini menyulitkan saya selaku juru kamera dalam menentukan angle yang sedap dipandang. Akhirnya, kami pilih posisi duduk bersila di lantai dengan nuansa santai dan bersahabat.

Sarah dan Joko jadi satu kelompok. Mereka pilih Robin sebagai narasumber. Culture shock jadi tema besar. Sarah dan Joko juga menanyakan tentang pop culture, yang belakangan ini banyak dianut remaja Indonesiasalah satunya video lipsing Keong Racun ala Sinta dan Jojo. Robin tahu video itu. Dia menyanyikan bait awal lagu Keong Racun.

“Dasar kau Keong Racun. Baru kenal udah ngajak tidur,” sambil meniru aksi Sinta – Jojo yang menaik-turunkan jari telunjuknya.

Dalam wawancara itu, Robin berkata ia adalah orang yang lapar kebudayaan. Indonesia beruntung punya beragam kebudayaan. “Rainbow culture,” begitu istilah yang diberikan Robin. Di Perancis dan negara Eropa lainnya, tak punya kebudayaan beragam seperti Indonesia. Lapar kebudayaan Robin, bisa dilihat dari selera musiknya. Musik yang dimainkan dari MacBook-nya kebanyakan berjenis etnik instrumen. Ada yang dari Jepang, Cina, Hongkong, hingga Afrika. Kalau dari Indonesia, ia suka lagu-lagu Batik Tribe, grup musik yang memadukan hip-hop dengan ensemble musik tradisional, seperti gamelan, kolintang, suling, dan bonang.

Sampailah pertanyaan pada apa yang dibenci Robin dari Indonesia? Dengan pede ia menjawab, “politic.” Menurut Robin, banyak politikus Indonesia yang mementingkan diri sendiri, makan hak orang kecil. Kurangnya kesadaran inilah yang menyebabkan korupsi di Indonesia seperti air di sungai, mengalir terus tanpa henti. Jangankan Robin, saya sendiri pusing melihat keadaan politik Indonesia yang semerawut.

Dan ketika ditanya apa yang paling dirindukannya saat tak lagi tinggal di Indonesia, Robin menjawab, “Indonesian food. I love Indonesian foodI like ayam bakar, pempek, and nasi Padang.”

Joko menyambutnya dengan hangat. “I am from Padang.”

“Ouw… I like rendang. I like it,” sambil mengacungkan jempol tangannya kepada Joko.

Kami tertawa lepas. Seakan lupa sedang melakukan wawancara. Handycam yang saya pegang pun goyang. Tapi saya coba untuk menahan tawa agar handycam tetap stabil.

Time code di monitor handycam sudah berjalan 7 menit, daftar pertanyaan sudah habis. Sarah memberi kode akan mengakhiri wawancara. Dengan sigap, saya mundur agar dapat mengambil ketiganya dalam  bingkai full shot. Sarah dan Joko mengucapkan terima kasih dan menyampaikan salam perpisahan.

Sarah menambahkan, “Okay, Robin, thank you for making me proud of my nation.

“You should be proud.”

Pertemuan malam itu sangat berkesan dan penuh inspirasi. Saya banyak belajar dari Robin dan Jonas. Belajar tentang semangat, semangat menjalani hidup. Mereka membakar lagi semangat hidup saya untuk menaklukan "dunia." 

Mengutip film Sang Pemimpi, "Bercita-citalah yang tinggi. Bermimpilah yang besar. Reguk madu ilmu sebanyak-banyaknya. Belajarlah dari alam di sekitarmu. Resapi kehidupan. Jelajahi Indonesiamu yang luas. Jengkali Afrika yang eksotik. Jelajahi Eropa yang megah."

"Ini harus jadi mimpi kita."

Come on guys, keep dreaming. Don't stop dreaming.

Semua foto diunduh dari akun Facebook Robin Dutheil dan Jonas Clement

Wednesday, December 8, 2010

Antara OPM, RMS, GAM, dan Jawa

Suatu hari saya diajak teman ke kedai kopi Starbucks, di jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Kedai kopi hasil peradaban kapitalis ini, konon katanya menyajikan kopi kualitas terbaik. Tak heran, waralaba asal Amerika Serikat ini membandrol harga puluhan ribu rupiah, bahkan untuk kopi hitam sekalipun.

Aroma kopi semerbak menyelimuti ruang ber-AC, dengan desain minimalis itu. Para barista beraksi mencampur kopi permintaan pelanggan. Sambil menikmati kopi, beberapa pelanggan asik dengan notebook mutakhirnya. Ada yang sekedar iseng membuka jejaring sosial Twitter atau Facebook. Ada juga yang serius mengerjakan pekerjaan kantor.

Di pojok ruangan, sekelompok pemuda santai bercanda, sambil membicarakan keberadaan gerakan separatis di Indonesia. Suara mereka cukup keras. Saya yang duduk di tengah, mendengar jelas pembicaraan mereka.

Mereka bicara soal Organisasi Papua Merdeka (OPM), Republik Maluku Selatan (RMS), dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Macam-macam argumennya. Ada yang mengatakan gerakan separatis itu penghianat, tak tahu untung, bahkan ada yang bilang mereka hanyalah pion negara asing. Mereka bicara nasionalisme. Pokoknya, NKRI harga mati.

Bendera OPM
Saya risih sendiri dengan argumen mereka. Tapi apa mau dikata, ini jaman orang bebas berpendapat.

Saya simpulkan, semua argumen mereka tentang gerakan separatis di Indonesia, adalah argumen orang “Jawa.” Jawa yang saya maksud, bukan merujuk pada suku bangsa. Tapi orang-orang yang tinggal di pulau Jawa. Masyarakat urban yang menikmati pembangunan NKRI dan modernisasi.

Saya, dan sekelompok pemuda itu, beruntung karena bisa tinggal di pulau Jawa yang urban. Terbuai peradaban kapitalis yang sombong dan individualistis. Bisa menikmati secangkir kopi sambil menonton berita perang. Hanya diam melihat foto korban penyiksaan di koran.

Bendera RMS
Jika sekelompok pemuda itu tinggal di luar pulau Jawa, Papua misalnya, mungkin jawaban mereka tentang separatis akan beda. Bisakah kita rasakan mempunyai daerah yang kaya emas seperti Papua, tapi masih banyak anak busung lapar, kurang gizi. Rempah-rempah berlimpah seperti Maluku, tapi masih banyak anak tak sekolah.

Intinya, orang-orang – yang dalam pemberitaan media sering disebut kelompok pemberontak – itu adalah kaum tertindas. Orang tertindas hanya punya dua pilihan; terus ditindas, atau melawan. Orang-orang dalam organisasi macam OPM, RMS, dan GAM memilih untuk melawan. Mereka mencari keadilan untuk diri mereka, dan anak-cucunya.

Beberapa kali saya ikut diskusi membahas gerakan separatis, yang berlandaskan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM). Semua sepakat, bahwa pembangunan di Indonesia pincang, tidak merata. Hanya Indonesia bagian Barat saja yang dibangun. Sementara Indonesia Timur, hanya diperas tanah dan isi buminya.

Rasa menuntut keadilan itulah, yang memotivasi mereka untuk melawan.

Bendera GAM
Orang Aceh yang tergabung dalam GAM misalnya, dahulu – mungkin sampai sekarang – tak mengakui bangsanya termasuk bangsa Indonesia. Mereka mengaku punya bangsa sendiri, yaitu bangsa Aceh. Menurut mereka, konsep bangsa Indonesia itu salah. Bangsa Indonesia hanyalah bangsa Jawa, yang egois, yang menjajah bangsa Aceh.

Saya sendiri orang Jawa. Tapi menurut saya, pernyataan orang Aceh ini ada benarnya. Bisa ditelisik dari permohonan referendum gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Andai saja yang minta referendum bukan orang Jawa, pasti pemerintah dan media mainstream langsung melabeli kelompok tersebut sebagai separatis. Ini terbukti dari permohonan referendum Papua. Esensinya referendum, tapi cerita dan endingnya berbeda. Media massa ramai memberitakan OPM sebagai organisasi terlarang.

Kita berpikir NKRI harga mati. Lalu, salahkah jika orang-orang dalam gerakan separatis menempatkan keadilan sebagai harga mati?

Indonesia memang belum menjalankan Pancasila sepenuhnya. Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, ditempatkan di sila terakhir. Sementara sila pertama saja, Ketuhanan Yang Maha Esa, belum dijalankan sepenuhnya. Masih banyak rakyat Indonesia yang belum mengakui KeEsaan Tuhan. Indonesia sedang mengalami krisis toleransi antar umat beragama.

Kita sibuk memegang prinsip Bhinneka. Tapi lupa Tunggal Ika.


Garuda Pancasila
Bhinneka Tunggal Ika

Saturday, December 4, 2010

Barang-Jasa di Pusat Sparepart Mobil Sawah Besar

Pembeli adalah Raja. Inilah salah satu satu prinsip dagang. Kepuasan dan kenyamanan pembeli di utamakan, bahkan jadi nilai mati. Kini, prinsip itu terabaikan.

Pada Jumat dan Sabtu (2 & 3 Desember 2010) lalu saya berkunjung ke Wisma Sawah Besar, Jakarta Pusat, untuk membeli beberapa sparepart dan asesoris mobil. Membeli dan memasang alarm mobil, jadi agenda utama.

Di Sawah Besar, konon katanya adalah pusat penjualan sparepart mobil, dengan harga miring. Niat mencari harga murah, malah akhirnya saya mengeluarkan duit ekstra. Ditambah lagi, ada rasa kurang nyaman dan aman saat berada di sana. Karena itulah, saya simpulkan saya tidak puas belanja di Sawah Besar.

Saya akan mengulas faktor kenyaman, keamanan, dan terakhir, kepuasan.

Faktor Kenyamanan
Hari Jumat, saya tiba di Sawah Besar jam 1 siang. Setelah parkir mobil di pinggir jalan, 2 sampai 3 orang menghampiri. Mereka bertanya:
“Cari apa bos?”
“Mau beli sparepart? Biar saya bantuin!”
“Bos, lampu depannya sudah buram tuh, sini saya bersihin.”
“Ayo saya antar ke toko yang murah.”

Semua pertanyaan itu, saya jawab dengan kata, “Tidak.”

Ini kali pertama saya ke Sawah Besar. Ternyata di sana banyak calo. Masuk ke pertokoan, juga demikian. Ada saja calo yang bertanya, “Cari apa bos? Bisa dibantu?” Ada yang memberi rekomendasi toko murah. Bahkan, ada calo yang ikut memberi harga saat saya tawar menawar dengan pedagang. Saya jadi bingung, ini yang punya toko sebenarnya siapa sih?

Satu lagi hal penting yang perlu diketahui, Sawah Besar punya aturan main sendiri dalam memperlakukan barang dan jasa. Barang seperti sparepart atau asesoris, jadi urusan pedagang yang punya toko. Jasa seperti pasang sparepart atau asesoris, jadi jatah mekanik. Tak ada ikatan kerja formal antara pedagang dan mekanik. Jadi, setelah tawar menawar barang dengan pedagang, kita juga harus tawar menawar jasa dengan mekanik – jika barang yang dibeli ingin dipasang di tempat.

Kesepakatan itu sudah berlangsung lama. Tak heran, selain calo, di Sawah Besar juga banyak mekanik nakal. Selain menaruh harga tinggi, para mekanik juga mencari uang ekstra dari sparepart-sparepart kecil.

Contohnya, ketika saya pasang alarm, si mekanik bilang, “Ini harus dipasang soket dan relay lagi untuk nyambungin alarm ke mesin.” Karena ini salah satu permintaan saya, maka saya restui. Masuklah dia ke toko, dan kembali membawa soket dan relay seharga 150 ribu. Saya terkejut dengan harga itu. Terlebih, merk relay yang dibawa itu banyak produk imitasinya.

Selidik punya selidik, harga soket dan relay yang dibawa si mekanik itu, masing-masing cuma 10 ribu dan 50 ribu. Wah, saya ‘diketok’ 90 ribu. Hahaha…

Pusat onderdil Sawah Besar memang tak disertai pendingin ruangan, terbilang kumuh, sehingga membuat udara dalam pertokoan pengap. Bangunannya usang tak terawat. Pokoknya, jauh dari kesan mewah. Bagi saya, semua itu tak masalah. Justru inilah yang membuat harga sparepart di Sawah Besar murah. Pedagang tak harus bayar mahal untuk sewa toko dan perawatan bangunan.

Yang jadi masalah bagi saya, adalah keberadaan calo dan mekanik itu. Mereka terlalu ekstrim dan bebas. Andai saja pedagang mau kerjasama dengan mekanik, mungkin para mekanik tak akan senakal itu. Karena mereka punya jatah bayaran yang jelas atas jasa yang dikerjakan. Jika sistem aturan ini dimainkan, Sawah Besar akan lebih teratur dan nyaman.

Faktor Keamanan
Gerak-gerik mencurigakan para calo menimbulkan rasa tak aman. Mata ini selalu memperhatikan tingkah mereka. Ada yang mengitari mobil, memperhatikan kekurangan mobil, lalu menawari pasang ini-itu. Hal-hal yang tak prinsipil terus ditanyai.

Saat sedang pasang alarm, seorang calo memperhatikan barang-barang di dalam mobil saya. Saat itu saya membawa barang berharga dan uang tunai. Tingkah aneh ini membuat saya makin waspada dengan barang bawaan. Jika ada seorang calo yang menawari ini-itu, langsung saya jawab: “Tidak.”

Di saat bersamaan, datanglah mobil Toyota Avanza dan Honda Civic Genio. Keduanya parkir mengapit mobil saya.

Si empunya Avanza dikerubuti 3 calo. Kesalahan ia lakukan, ia bilang ke para calo bahwa dirinya butuh spion Avanza digital sebelah kiri. Mereka berkata, “Tunggu di sini aja bos, biar kita cariin.” Satu orang calo masuk ke pertokoan, dan dua tinggal di tempat mengajak ngobrol si pemilik Avanza.

Calo yang mengambil spion tak lama datang. Saya tak tahu pasti ia kasih harga berapa. Yang jelas, spion digital harganya 1 juta ke atas. Belum lagi persenan “tinggi” dan ongkos pasang ketiga calo tersebut.

Saya dengar pemilik Avanza keberatan dengan harga yang mereka berikan. Tapi ketiga calo itu terus memaksa. Pemilik Avanza kalah argumen. Ia tidak tegas. Ia pun akhirnya menyetujui harga dan menyuruh para calo memasang spion. Seorang calo memasang spion, dibantu dua calo lainnya. Satu calo hanya memegangi spion. Dan satunya lagi bertugas memberikan obeng, tang, dan baut. Kedua calo itu hanya meramaikan, kontribusinya tak signifikan.

Setelah spion dipasang. Kedua calo yang hanya meramaikan tadi, meminta ongkos jasa. Saya dengar mereka minta 100 ribu. Tapi si pemilik Avanza keberatan. Ia pikir, kesepakatan total harga di awal sudah termasuk ongkos jasa ketiga calo itu. Ternyata, ongkos jasa itu hanya untuk satu calo yang benar-benar memasang spion. Adu mulut terjadi. Lalu datanglah beberapa rekan calo lainnya. Mereka menekan si pemilik Avanza untuk memberi “hak” kedua calo yang kontribusinya tak signifikan, tapi minta ongkos tinggi.

Karena dikeroyok banyak mulut, si pemilik Avanza luluh. Jika ia tak memberi uang, mungkin keamanan diri dan mobilnya bisa terancam. Akhirnya, ia hanya memberi 50 ribu. Kedua calo itu tidak puas, mereka bisik-bisik sinis.

Beda lagi cerita si pemilik Honda Civic Genio. Ia memang menolak jasa para calo, dan langsung masuk ke pertokoan. Ia membeli kampas kopling dan memakai jasa mekanik untuk memasang. Di tengah mekanik sedang memasang, para calo pun beraksi. Mereka tawari agar si pemilik Genio membersihkan lampu depan yang menurut mereka sudah kotor. Calo memaksa. Dan lagi-lagi si pemilik Genio tidak tegas.

Kedua lampu depan dibawa para calo ke pertokoan. Calo tersebut minta ongkos 150 ribu. Tak hanya itu, ada calo yang masuk ke dalam mobil. Entah apa yang dilakukan. Tapi bagi saya, ini pertanda krisis keamanan di daerah Sawah Besar.

Sekitar 30 menit, calo tersebut datang dan memasang lampu. Lagi-lagi kelompok calo itu menjalankan strategi, sama seperti yang mereka lakukan pada pemilik Avanza. Dua calo datang membantu pasang lampu. Ada yang memegangi lampu, dan ada yang bertugas menyalakan-mematikan lampu dari bangku sopir.

Saya ajak ngobrol si pemilik Genio, dan menceritakan apa yang terjadi oleh si pemilik Avanza. Si pemilik Genio memang terlihat seperti orang berada, ia tak ada masalah dengan uang. Tapi ia berkata, risih dengan tingkah para calo yang semena-mena.

Endingnya, kedua calo yang jadi tim “hore” itu minta jatah ongkos, karena mereka merasa telah membantu mempercepat proses pemasangan lampu.

Tak lama sesudah itu, alarm yang dipasang di mobil saya selesai. Saya bergegas pulang. Saat melaju mobil dengan kecepatan tinggi, dari belakang terdengar suara ganjil. “Ngak-ngik Ngak-ngik.” Suara apa itu? Saya menepi dan turun untuk mengecek asal suara tersebut. Dan ternyata, suara itu berasal dari pintu belakang yang tak tertutup rapat. Padahal, saya merasa tak membuka pintu belakang. Lalu siapa yang membukanya?

Faktor Kepuasan
Sesampainya di rumah, saya mencoba fungsi dan kerja alarm yang baru saja dipasang. Dan ternyata, alarm tak bekerja dengan baik. Ketika alarm berada di posisi on, lalu central lock dibuka dengan kunci, dan pintu dibuka, sirinenya tidak mengeluarkan suara.

Ah sial, kerja mekanik Sawah Besar tidak sempurna. Buat apa pasang alarm jika pintu dibuka dengan kunci, tak keluar bunyi sirinenya. Ini memang kesalahan saya, tidak mengecek fungsi dan kerja alarm.

Keesokan harinya, Sabtu, saya kembali ke Sawah Besar. Tujuannya utama adalah mencari Atmo, mekanik yang kemarin menangani mobil saya. Saya mau minta dia membenahi pekerjaannya. Mungkin dengan ini, saya tak harus mengeluarkan uang lagi. Tapi, setelah saya kelilingi Wisma Sawah Besar, Atmo tidak ada. Saya minta nomor handphone Atmo kepada temannya. Saya hubungi nomor telepon tersebut, tapi Atmo tak menjawab.

Yasudahlah, terpaksa saya gunakan jasa mekanik lain untuk membenahi fungsi dan kerja alarm tersebut. Lagi-lagi saya disuruh ganti soket. Menurut Ujang, mekanik pengganti Atmo, soket yang saya gunakan salah. Saya turuti kemauannya untuk ganti soket. Saya jengah dengan tingkah mekanik. Lagi-lagi saya ‘diketok’, soket yang dibawanya seharga 50 ribu.

Saya cuma berkata, “Udah, pasanglah. Gua ga mau lama-lama di sini.” Setelah alarm dibenahi, saya tes satu persatu fitur alarm, berulang-ulang. Memastikan semua bekerja sebagaimana mestinya.

Serangkaian peristiwa itu, mulai dari ketidaknyamanan dan ketidakamanan di Sawah Besar, membuat saya tidak puas. Terlebih dengan tingkah para calo dan mekanik.

Saya pikir ini adalah dampak perekonomian Indonesia yang anjlok sejak 1998. Para calo tak bisa sepenuhnya disalahkan. Pemerintah punya tanggung jawab membenahi ini semua. Ini masalah perut. Mereka cari uang untuk makan. Dan memakai jalan pintas untuk menghalalkan segala cara. Prinsip dagang: pembeli adalah Raja, tak lagi dipegang teguh. Yang penting untung, untung, untung, dan uang.

Bicara sisi negatif, tak layak jika tak membicarakan sisi positif pusat penjualan sparepart Wisma Sawah Besar. Memang harga sparepart di sana murah-murah. Jika ingin dapat harga murah, jangan membeli di lantai bawah. Pergilah ke lantai dua atau tiga, mereka menjual sparepart atau asesoris dengan harga pas.

Saya dapat alarm merk M1+ seharga Rp 490.000,- di lantai dua. Harga ini murah. Saya sudah cek di beberapa milis dan online shop, rata-rata menjual di atas 500 ribu.

Jadi, jika ada yang ingin membeli sparepart dengan harga miring, datanglah ke Sawah Besar. Tapi jangan pasang sparepart atau asesoris itu di sana. Karena, selain ongkos jasanya mahal, saya masih meragukan keahlian dan keterampilan mereka. Dan yang terpenting, telitilah sebelum membeli. Jangan sampai dapat barang imitasi.