Saturday, September 25, 2010

Hari Tua Seorang Veteran

Bung Karno pernah berkata, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para Pahlawannya.

Bagindo Zainal Wahab, seorang veteran perang angkatan 45, berjalan dengan langkah kecil yang lambat. Dari kamarnya yang berada di lantai atas, Ia turun menghampiri saya di ruang tamu. Kami bersalaman. Ia mempersilahkan saya duduk.

Kopiah putih menutupi rambutnya yang beruban. Syal rumbai bermotif kotak, Ia kalungkan di lehernya. Banyak bintik hitam di sekitar wajahnya yang gempal. Mata sipitnya dikaruniai bola mata berwarna coklat. Ia tidak membiarkan kumis tumbuh di atas bibirnya yang tebal dan hitam. Tapi Ia membiarkan janggut menghiasi dagunya.

Saya sempat tidak enak hati karena harus membuatnya turun dari kamar. Ia kelelahan. Nafasnya terengah-engah. Lily Fatimah, istrinya, langsung memberinya segelas air. “Maaf ya, Bapak sakit asma. Jadi nafasnya megap-megap,” kata Lily.

Saya menemui Zainal pada 20 Juli 2010, di rumahnya, sekitar 500 meter dari terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur. Sejak 1965, Zainal bersama keluarganya sudah menempati rumah berukuran 7×15 meter itu. Meski berada di pemukiman padat penduduk, lingkungan rumahnya terbilang asri. Banyak pot tanaman menghiasi gang-gang kecil di sana.

Zainal yang kini berusia 78 tahun, mulai membuka pembicaraan. “Apa yang bisa saya bantu? Tapi saya sudah agak pikun.”

Di Indonesia, ada dua kategori veteran. Pertama, Veteran Pejuang Kemerdekaan. Meliputi para veteran yang berjuang dalam meraih kemerdekaan, sejak 1945 sampai 1949. Zainal termasuk kategori ini. Kedua, Veteran Pembela Kemerdekaan. Yaitu para veteran yang bertempur selama Trikora, Dwikora, dan Timor Timur, sejak 1975 sampai 1976. Pensiunan tentara yang tidak pernah berperang melawan musuh dari luar, tidak mendapat predikat veteran, hanya purnawirawan.

Sore itu, Zainal mengisahkan perjuangannya di tanah kelahiran, desa Sungai Limau, Padang Pariaman, Sumatera Barat. Ayahnya, Abdul Wahab, adalah kepala adat di desa itu. Sejak kecil, Zainal sering disuruh Ayahnya menggembala kerbau, sambil menjadi mata-mata jika ada pasukan Belanda mendekat ke desa mereka. Dengan memasang anak kecil sebagai mata-mata, pasukan Belanda tidak akan menaruh curiga.

Suatu hari, pada 1945, ketika usianya 13 tahun, Zainal disuruh Ayahnya pergi ke kota Pariaman, untuk mengambil surat penting dari Komandan Kompi Pagaruyung. Dalam perjalanan pulang, Ia dihadang beberapa tentara Belanda. Zainal ditanya dengan bahasa Belanda. Tapi Ia tak mengerti. Ia sudah ketakutan kalau-kalau pasukan Belanda itu memeriksa kantung celananya. “Entah apa jadinya jika surat itu direbut Belanda. Saya sendiri tak tahu isi surat itu,” katanya sambil menggelengkan kepala. Mungkin, karena Zainal belum dewasa dan terlihat lugu, tentara Belanda mempersilahkannya melanjutkan perjalanan tanpa memeriksa barang bawaannya.

Pada 1947, saat usianya 15 tahun, Zainal bergabung dengan Angkatan Darat Republik Indonesia. Ia tergabung dalam Kompi Bakapak yang berinduk di Pagaruyung, Padang Pariaman. Saat itu, usianya masih sangat belia. Tapi itu tak menghalangi niatnya untuk berjuang. Semangat kemerdekaan adalah modal utamanya. Zainal terpaksa membuat identitas palsu, dengan menuakan umurnya menjadi 18 tahun. Sebenarnya Ia kelahiran 11 Januari 1932, tapi tahunnya dipalsukan menjadi 1929. Alhasil, Ia bisa ikut berjuang melawan kolonial Belanda.

Baku tembak pertamanya dengan pasukan Belanda, terjadi pada Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Zainal berjuang mempertahankan desa Lubuk Alung, Padang Pariaman. Tapi sayang, Lubuk Alung berhasil direbut Belanda. Dalam Agresi Militer II ini, Belanda melanggar Perjanjian Linggarjati. Yang menyebutkan, Belanda mengakui secara de Facto wilayah Republik Indonesia meliputi Pulau Jawa, Sumatera dan Madura.

“Pasukan Pagaruyung punya persenjataan paling lengkap di Sumatera Barat. Karena itu, kami diinstruksikan pindah ke Jakarta, di tahun 1949. Untuk membantu pasukan Jakarta,” kata Zainal. Tapi, pada 1950, Zainal memutuskan keluar dari Angkatan Darat.

Selama berkisah, Zainal tak banyak menggerakan tangan dan anggota tubuh lainnya. Nada bicaranya pun datar. Sering kali Ia harus melihat catatannya untuk mengingat masa-masa perjuangan itu. Tapi, sering kali juga Ia menceritakan hal yang sama berulang-berulang. “Saya sudah lupa,” ujarnya.

Berbicara panjang membuatnya terengah-engah, lalu diikuti dengan bersendawa. Zainal harus berhenti sejenak untuk mengumpulkan energi.

Dari arah tangga, Lily berjalan ke arah saya, membawa map bening berwana kuning berisi dokumen. Ibu enam anak ini memberi tahu saya, bahwa suaminya tidak boleh terlalu lelah. Saya mengerti maksud ucapan itu. Zainal tak boleh menguras energinya dengan mengingat kejadian masa lalu. Karena akan berdampak pada kesehatannya. “Ibaratnya komputer, Bapak itu sudah eror,” kata Lily sambil tertawa. Zainal hanya tersenyum dingin mendengar ucapan itu.

Lily menyodorkan kartu tanda anggota veteran, piagam penghargaan dan medali perjuangan angkatan 45, yang semuanya atas nama Bagindo Zainal Wahab. Lily tak segan-segan memperlihatkan slip gaji tunjangan veteran yang pertama kali mereka terima, tertanggal 16 November 1995. Saat itu, Zainal menerima tunjangan sebesar Rp. 129.600,-. Lily mengumpulkan seluruh slip tunjangan yang mereka terima tiap bulannya.

Sebenarnya, Zainal tidak mau menerima tunjangan veteran itu, dengan alasan, berjuang demi kemerdekaan merupakan kewajiban warga negara. “Saya berperang hanya untuk kemerdekaan. Saya tidak mengharap apa-apa,” ujarnya.

Pertama kali, Ia ditawarkan dispensasi khusus ini pada 1967. “Waktu itu, petugas (Departemen Urusan Veteran dan Demobilisasi) mendatangi rumah saya. Meminta agar saya mengurus tunjangan veteran ini. Tapi saya tidak mengurusnya.”

Penolakan ini juga didasarkan pada keadaan ekonomi keluarga Zainal, yang saat itu, tergolong berada. Pada 1965, Ia mendirikan CV Bina Upaya. Usaha yang bergerak di bidang percetakan dan jasa penyediaan alat tulis kantor ini, terbilang sukses.

Kali keduanya, pada pertengahan 1995, seorang petugas dari Sub Direktorat Departemen Pertahanan, mendatangi rumahnya lagi. Menyarankan agar Zainal mau mengurus administrasi dispensasi khusus ini.

Putri tertua Zainal, Epi Nurhafizah, membujuk Ayahnya agar mau mengambil dispensasi khusus itu. “Ayah ambil saja. Ini kan hak Ayah juga. Sekarang Ayah masih bisa bekerja. Tapi kalau sudah tua nanti, Ayah pasti butuh uang lebih,” tukas Lily meniru ucapan putrinya. Dengan dorongan dan paksaan putrinya, Zainal pun mengurus administrasi dispensasi khusus tersebut.

“Sekarang (era reformasi) sudah agak mendingan lah. Apalagi Pak SBY ngasih dana kehormatan,” kata Lily. “Perhatian pemerintah jauh lebih baik dari sebelumnya. Tinggal dipertahankan saja,” sambung Zainal, pasrah.

Saya meminta slip tunjangan terakhir yang Zainal terima. Lily memperlihatkan slip bulan Juni dan tunjangan ke-13, tahun 2010 ini, sebesar Rp. 1.011.000,-. Jumlah tersebut belum termasuk dana kehormatan, sebesar Rp. 250.000,-.

Sejak dana kehormatan veteran ini diberlakukan pada 2008, Zainal belum pernah mendapatkannya, karena tidak mau mengurus administrasi. Lagi-lagi Zainal mengabaikan sesuatu yang menjadi haknya.

Kini, Zainal hanya ingin menghabiskan masa tuanya dengan hidup tenang. Ia mengingatkan, mengenang jasa para pahlawan, tak cukup dengan memperingati Hari Pahlawan pada 10 November saja. Menjamin hari tua para veteran juga tidak cukup. Dilakukan upacara pemakaman ala militer dan menguburnya di Taman Makam Pahlawan, juga tidak perlu. “Yang paling penting adalah, meluruskan sejarah yang sempat belok karena ada kepentingan di balik kepentingan,” harap Zainal.

Gayung Dipakai Minum, Gelas Dipakai Mandi

“Gayung dipakai minum. Gelas dipakai mandi.” Kalimat itu diucapkan Nur Rachmiati, atau yang akrab disapa Umi, pengurus Panti Asuhan Nurul Jannah.

“Simpel, tapi penuh makna.” Begitulah komentar salah satu teman menanggapi kalimat tersebut. Saya pun berpendapat demikian.

Relevansi antara gayung dan mandi, tidak dapat dipisahkan. Begitu juga dengan gelas dan minum. Memang sama-sama untuk menampung air. Tapi jika fungsi utamanya diubah, itu jelas suatu kesalahan. Karena keduanya memiliki nilai yang berbeda.

Mungkin ada yang berpendapat, itu hanyalah kesalahan kecil. Tak perlu dibesar-besarkan. Tapi jika dilakukan berulang-ulang, ini bisa menjadi kebiasaan buruk.

Esensinya, akal manusia dapat mengetahui dan memilah mana yang benar dan mana yang salah. Tapi, sering kali kita menganggap yang salah itu dapat dibenarkan. Bahkan bisa berbanding terbalik, yang benar jadi salah, yang salah jadi benar.

Mungkin, hal ini menjadi salah satu penyebab korupsi di Indonesia telah membudaya. Cakupan moralnya berubah menjadi sesuatu yang dapat dibenarkan. Apalagi, dilakukan secara massal dan terus menerus. Hingga akhirnya, korupsi dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Dimaklumi. Aristoteles menyebutnya; Mob Rule. Apa yang dilakukan banyak orang, itulah yang menjadi standar sekaligus aturan.

Belajar dari “Gayung dan Gelas,” seyogyanya kita dapat mengevaluasi diri atas kebiasaan-kebiasaan buruk yang selama ini sering kita benarkan. Semoga sebuah gayung tetap menjaga nilai dan fungsinya sebagai alat bantu yang digunakan untuk mandi. Dan sebuah gelas tetap digunakan untuk minum.