Wednesday, September 14, 2011

Sandal Jepit dan Celana Pendek Dilarang Melintasi Jalan Raya

Selama ini saya tak pernah dengar pengalaman siapapun yang ditilang karena mengenakan sandal dan celana pendek saat mengendarai sepeda motor. Namun, beberapa hari lalu, saya dapat cerita dari teman yang ditilang karena sandal dan celana pendek.

Namanya Putro Utomo. Saat itu ia hendak menjemput anggota keluarga di daerah Fatmawati, Jakarta Selatan. Di tengah perjalanan, ia lihat beberapa sepeda motor menepi ke sisi kiri jalan yang diberhentikan petugas berseragam cokelat dan mengenakan rompi hijau stabilo. Ia tahu di depan sana ada razia. Dengan pede, ia hampiri Pak Polisi, karena merasa semua syarat berkendara telah dipenuhi. Helm SNI ngeklik melindungi kepalanya. Ia perlihatkan SIM dan STNK.

Tak selesai sampai di situ, ternyata Pak Polisi mempermasalahkan sandal jepit dan celana pendek yang ia kenakan. Putro membela diri dengan alasan terburu-buru.

Pak Polisi itu pun menyanggah. “Kalo kamu kecelakaan, setidaknya celana panjang dan sepatu bisa melindungi kaki, meminimalisir luka,” tegas si Polisi, yang menekankan pada safety riding.

Putro yang tidak membawa cukup uang untuk “bernegosiasi,” pasrah untuk selanjutnya diberi surat tilang. Ia harus menjalani sidang beberapa hari kemudian untuk mengambil kembali SIM-nya.

Lucu, dan saya sempat tak percaya. Ada juga polisi yang menilang karena pengemudi mengenakan sandal dan celana pendek. Pasalnya, Kepolisian terlihat setengah hati menyosialisasikan larangan mengenakan sandal dan celana pendek itu. Berpuluh-puluh kali saya dirazia, polisi hanya menanyakan SIM dan STNK. Sesekali pernah tas dan bagasi motor digeledah, karena sedang digelar razia narkoba atau senjata tajam. Tak pernah sekalipun saya dihimbau untuk mengenakan celana panjang dan sepatu.

Saya sendiri selalu mengenakan celana panjang dan sepatu saat berkendara jarak jauh. Ada rasa tidak nyaman jika mengenakan sandal dan celana pendek. Kebetulan, saya punya kebiasaan selalu menutup rapat anggota tubuh saat mengemudi. Lebih baik bermandi keringat sendiri, dari pada bermandi asap knalpot, sekalipun itu hanya mengenai bagian kaki.

Apa yang dikatakan Pak Polisi kepada Putro ada benarnya. Celana panjang dan sepatu bisa meminimalisir luka, jika kecelakaan menimpa diri. Namun seharusnya Kepolisian juga menyosialisasikan larangan sandal dan celana pendek ini dengan gencar, dan berkelanjutan. Mengingat jumlah pengendara motor yang terus meningkat. Sosialisasi bisa dilakukan dengan Iklan Layanan Masyarakat di media massa.

Atau, Kepolisian bisa memasang rambu khusus di jalan raya. Rambunya bergambar sandal jepit dan celana pendek dicoret, yang artinya: Sandal Jepit dan Celana Pendek Dilarang Melintas. Kalo gambar ini ada, mungkin lucu juga.

posted from Bloggeroid

Published with Blogger-droid v1.7.4

Tuesday, August 2, 2011

Videographer Idolaku Telah Tiada

Berawal dari rasa kagum atas sebuah video dokumenter tentang badai salju yang menyelimuti 68% wilayah Amerika Serikat, pada akhir 2009 dan awal 2010. Saya menonton video itu di YouTube. Saya suka semua unsur sinematografi video itu. Terlebih unsur storytelling, yang bagi saya, menjadi kunci keberhasilan karya dokumenter.

Saya mencari nama si videographer dalam jejaring sosial Facebook, lalu mengajukan permintaan pertemanan kepadanya.  Saya baca sedikit informasi tentang dirinya. Ia orang Indonesia yang bekerja di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat. Kulitnya sawo matang. Rambut lurus belah tengah. Berkumis tipis. Wajah bulat dihiasi kacamata ouval. Ia selalu memasang senyum kecil setiap kali difoto. Saat itu, ia memajang fotonya bersama sang istri sebagai profile picture.

Tak selang satu jam, ia menerima saya sebagai teman. Kami berteman sejak November 2010. Mutual friends di antara kami adalah Andreas Harsono, Budi Setiyono, Coen Husain Pontoh, Wahyu Muryadi, dan Toriq Hadad. Mungkin, mutual friends inilah yang membuat ia menerima permintaan pertemanan dari saya.

Entah siapa sebenarnya si videographer ini, saya tak kenal. Kami tak pernah berjumpa. Saya tak pernah mendengar suaranya. Saya tak tahu bagaimana cara ia bicara. Cara ia berjalan. Tapi, saya kagum atas kejeliannya menggarap video dokumenter "Strom: A Winter We Never Forget." Ia merekam, mengumpulkan 49 footage dari para YouTubers, menyunting, dan mencari narator. Konten video itu kurang lebih berdurasi 11 menit, ditambah credit title 3 menit. Di YouTube, video itu dipecah menjadi 2 bagian (Part 1 dan Part 2)

Sekali lagi, saya mengagumi karyanya. Bagi saya, ia videographer dan penulis naskah yang hebat.

Jauh di nyata, dekat di maya. Saya sering jadi tamu tak diundang, main ke ruang tamu Facebook-nya. Mengecek jikalau ada karya video terbaru yang ia posting di wall. Ingin rasanya menanyakan tips dan trik membuat video dokumenter. Terlebih soal storytelling. Namun keberanian untuk bertanya itu belum ada. Alhasil, setiap kali berkunjung, saya hanya menyimak status-statusnya, yang selalu bernuansa cinta dan kehidupan.

Saya merekomendasikan video itu ke beberapa teman. Teman dekat saya, Sarah Ghariza, sempat mempublikasi video tersebut di Facebook. Ia juga mengungkapkan kekagumannya.

Februari 2011, sejak lulus kuliah dan mulai bekerja di salah satu media massa, saya tak pernah lagi mengunjungi ruang tamu Facebook-nya.

Hingga pada 1 Agustus 2011, Andreas Harsono, guru menulis saya di Yayasan Pantau, yang juga berteman dengan sang videographer, menulis kabar duka lewat statusnya.

“Berita duka. Kontributor Pantau, Anthony B. Tejamulya, yang selama bbrp tahun terakhir bekerja di Philadelphia, meninggal dunia dalam perjalanan pesawat terbang Philadelphia-Jakarta. Dia meninggalkan isteri dan dua anak remaja. May he rests in peace.”

Sempat tak percaya. Anthony B. Tejamulya, sang videographer yang saya kagumi telah berpulang. Saya mengecek akun Facebook-nya. Benar saja, banyak ucapan berduka di sana. Anthony akrab disapa Bakti, Teja, ataupun Tejo. Ia meninggal 29 Mei 2011 di pesawat dalam perjalanan pulang dari Amerika Serikat ke Jakarta. Berarti, hampir 2 bulan saya ketinggalan kabar ini.


Pesan dari Nur Fatimah Djie di wall Anthony, 22 Maret 2011



















Di wall Anthony, Nur Fatimah Djie sempat menanyakan kabar, pada 22 Maret 2011, jauh hari sebelum Anthony meninggal. “Bakti Tejamulya...kmanakah dirimu???kok ngga tau muncul lagi??!!!!!!”

“Memei, aku di sini kok. Ntar ya, kalau nggak sibuk, aku muncul lagi,” jawab Anthony, 2 hari kemudian.

Nur Fatimah yang oleh Anthony dipanggil Memei, kembali mengomentari, “Okelah kalo begitu tejo,smoga sukses ya.....salam untk kluarga.”

29 Juni, sebulan setelah Anthony tiada, Nur Fatimah melanjutkan thread status comment di atas. “Ahhh Tejo ternyata ini trakhir kita bersua setelah sekian lama tak bertemu...disaat waktu inipun sebenarnya sakitmu sudah ada,,,tapi masih saja tejo bisa menyenangkan teman2nya....itulah TEJO yang manis dan tegarrrrrr.......”

Agata C. Bakti, istri Anthony, membalas comment Nur Fatimah. “Waktu Bakti posting comment di atas, kondisinya masih sehat kok, Mei. Tp memang sebenarnya penyakit itu dah bersarang di tubuhnya. Kondisinya mulai menurun yaitu sejak 23 Mei. Itu pun gak parah-parah amat. Masih termasuk segar. Makanya, kejadian di pesawat itu sangat membuatku kaget n gak percaya sama sekali. Tapi sekarang Bakti dah nyaman dan bahagia dalam kehidupan yg abadi di rumah Bapa.”

Agata juga membalas ucapan duka dari teman-teman Anthony yang lainnya, salah satunya Retty Nereng. Dari comment Agata kepada Retty, saya menangkap cerita menarik di balik akun Facebook Anthony, yang sejak Maret lalu telah ditutup, namun sebulan setelah kematian Anthony, akun itu aktif kembali.

“Retty Nereng : Ini memang aneh, Retty. Setahuku, sekitar awal Maret, Bakti dah menutup A/C fb-nya. Sampai saat terakhir kami masih aktif memakai komputer (+inet) di Phila, yaitu tgl. 26 Mei malam waktu Phila. Sesudah itu, komputer n laptop dah di-packing. Kami gak pernah membukanya lagi. 28 Mei pagi, kami dah ke airport di NY. 29 Mei, Bakti meninggal. Jadi, A/C fb Bakti ini aktif lagi sesudah kepergiannya ke rumah Bapa. Aneh bin ajaib 'kan? Aku baru tahu bahwa fb ini aktif, yaitu 29 Juni sewaktu mau posting statusku. Waktu itu juga Bagas yg jeli, sehingga ngeh bhw fb papanya aktif lagi.”


Pesan dari Retty Nereng di wall Anthony, 9 Juli 2011



















Hingga kini, Agata dan kedua anaknya tidak tahu siapa yang mengaktifkan kembali Facebook Anthony. Mereka tidak bisa mengakses karena tidak mengetahui password.

Apapun cerita di balik akun Facebook Anthony, dahulu saya sering jadi tamu tak diundang di rumah mayanya. Saya selalu mengingat senyum kecil itu. Kumis tipis. Dan kacamata ouvalnya. Kini, yang terpampang di wall hanya ucapan duka. Selamat jalan. Semoga tenang di sisi Tuhan. Dan sebagainya. Status bernuansa cinta dan kehidupan yang tiap hari ditulis Anthony, telah tiada. Entah sampai kapan akun Facebook-nya bakal aktif, dan masih dikunjungi para sahabat dan kerabat.

Saya tak tahu ia sakit apa. Saya tak sempat memverifikasi karena tak kenal dengan keluarganya. Jika tahu ia sedang sakit, setidaknya saya akan menulis “Semoga lekas sembuh” di wall-nya. Saya tak sempat memenuhi adab pertemanan itu. Melalui tulisan ini, saya doakan semoga Pak Anthony tenang di sisi Tuhan. Dan keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran. Amin.

Sejak pertama kali menonton “Storm: A Winter We Never Forget,” dokumenter ini telah masuk daftar video favorit saya. Namun kini, setiap kali menontonnya, ada rasa kosong di hati saya. Dan, ada penyesalan dalam diri. Saya tak sempat menanyakan bagaimana menyusun storytelling video dokumenter sehebat itu?

Selamat jalan Pak Anthony...

Akun Facebook Anthony B. Tejamulya

Tuesday, April 26, 2011

Bayar Pajak Kendaraan Bermotor dengan Cepat di Samsat Outlet

Ingin bayar pajak kendaraan bermotor, tapi malas ngantri? Sudah capek-capek ngantri, tapi tak kunjung dipanggil. Ternyata eh ternyata, dokumen kita diselak orang-orang yang menggunakan jasa calo. Alhasil, harus rela ngantri selama 2 sampai 3 jam. Begitulah suka duka saat mengurus pajak kendaraan bermotor di Kantor Samsat (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap).

Kini, masyarakat Jawa Barat yang memiliki kendaraan pribadi (bukan umum) baik roda 2 ataupun 4, tak perlu lagi antri berjam-jam untuk membayar pajak 1 tahunan kendaraan bermotor di Kantor Samsat. Karena, hingga tulisan ini di-posting, Pemerintah Jawa Barat telah menyediakan 11 Samsat Outlet yang berada di dalam pusat perbelanjaan/mall. Semoga jumlah ini terus bertambah.

Berikut daftar Samsat Outlet di Jawa Barat:
1. Bandung Trade Center Pasteur
2. Depok Town Square
3. ITC Cibinong
4. Bogor Trade Mall
5. Plaza Pondok Gede Bekasi
6. Plaza Metropolitan Cikarang
7. Mal Cikampek Karawang
8. Grage Mall Cibinong
9. Kebon Kelapa Bandung
10. Bandung Trade Mall
11. Jatinangor Town Square

Karena kebetulan saya tinggal di daerah Bintara, Bekasi, maka saya bayar pajak kendaraan di Samsat Outlet Pondok Gede. Karena baru pertama perpanjang pajak STNK di Samsat Outlet, saya ingin berbagi pengalaman di sini... Hehehe...

Sejak 27 Januari 2011, Kepolisian Daerah Jawa Barat, Dinas Pendapatan Propinsi Jawa Barat, Jasa Raharja (Persero), bekerjasama dengan Bank Jabar Banten, membuka Samsat Outlet di Plaza Pondok Gede 2, lantai basement, yang diperuntuhkan untuk warga Bekasi dan Cikarang.


Samsat Outlet didominasi warna biru 

Outlet ini buka setiap hari. Senin sampai Jumat, buka dari pukul 9.00 hingga 15.00. Khusus Sabtu dan Minggu, dari pukul 9.00 sampai 14.00. Pada akhir bulan, mereka tutup lebih awal karena harus tutup buku untuk mengajukan laporan ke Samsat Induk.

Memang tak ada petunjuk yang menegaskan posisi Samsat Outlet ini. Tapi, anda cukup ke lantai basement Plaza Pondok Gede 2, dan bertanya pada security atau pedagang setempat tentang posisi outlet tersebut. Cukup mudah untuk menemukan lokasinya.

Seperti biasa, anda harus membawa dokumen: BPKB, STNK, dan KTP. Bawalah dokumen asli dan fotokopiannya (cukup satu lembar saja). Untuk efisiensi waktu, saya sarankan untuk memfotokopi dokumen itu sebelum berangkat ke outlet.

Sesampainya di sana, isilah formulir yang telah disediakan. Lalu serahkan dokumen (yang asli dan fotokopian) bersama formulir. Tak sampai 15 menit, anda akan dipanggil untuk membayar pajak. Dilanjutkan dengan mengambil STNK . Walau loketnya hanya sedikit, tapi prosesnya cepat. Yaiyalah, secara ga ada calo… Ga perlu mengeluarkan ongkos tambahan juga (baca: pungutan liar).

Samsat Outlet ini terbilang nyaman, karena berada dalam pusat perbelanjaan, yang tentu saja ber-AC. Antrian juga tidak terlalu panjang.

Bagi anda yang belum memegang BPKB atau kendaraan anda masih dalam proses kredit, sebelumnya harus meminta surat pengantar dari leasing sebagai pengganti BPKB. Bawalah surat pengantar itu, dan anda bisa membayar pajak di Samsat Outlet.

Jika anda telat membayar pajak kendaraan dalam kurun waktu 10 bulan, anda masih bisa membayarnya di outlet ini. Lebih dari 10 bulan, anda harus membayarnya di Kantor Samsat.

Sementara untuk mutasi atau pindah nama, penggantian STNK 5 tahunan dan cek fisik (nomor rangka, nomor mesin, warna dan bentuk), Samsat Outlet tidak bisa melayani. Anda harus ke kantor Samsat. Sekedar info, Kantor Samsat Bekasi ada di Jl. Ahmand Yani No. 1, Bekasi. Posisinya tepat di depan GOR Bekasi. Sementara Kantor Samsat Cikarang, ada di Jl. Raya Industri no. 14 Cikarang.

Saya teringat tagline “Orang Bijak Bayar Pajak,” yang sering saya temui di iklan layanan masyarakat wajib pajak. Jika prosesnya pembayaran pajak secepat ini, tidak dipersulit, saya yakin dengan sendirinya masyarakat akan menjadi pribadi yang taat pajak. Dan yang pasti, masyarakat yang bayar pajak di outlet sedikit demi sedikit ikut memutus rantai korupsi.

Dari pengalaman ini saya menilai, birokrasi pembayaran pajak kendaraan itu sebenarnya sangat mudah. Hanya saja ada pihak yang suka mempersulit dan mengambil keuntungan pribadi.  Ironisnya, calo-calo itu tidak hanya masyarakat sipil, tapi juga oknum kepolisian. Dengan seragam cokelatnya, mereka menawarkan diri “membantu mempercepat” proses pembayaran. Lobi sini, lobi sana. Urus ini-itu. Harga diri seragam cokelatnya hanya dinilai dengan puluhan ribu rupiah, tidak sampai seratus ribu rupiah. Belum lagi muka cemberut yang enggan memberi informasi lengkap. Pelayanan publik minus sekali.

Sekian curahan hati saya tentang pengalaman bayar pajak kendaraan bermotor. Semoga berguna, terutama bagi para pekerja yang tak memiliki waktu luang J

Sunday, April 17, 2011

Mereka Sekarat

Mereka, mengetik berpacu dengan detik
Mereka, putar otak mencari diksi
Mereka, pemilih ucapan sang pembicara

Terkadang mereka, memecah belah satu kesatuan
Demi sebuah target sang kapital

Pergi ke sana sebagai saksi hidup momen penting
Pergi ke sini memandang dan mendengar dengan teliti

Satu jam peristiwa berselang, halo-halo sang atasan menantang
Masa bodoh dengan alur yang akrobat, dan jungkir balik susunan
Yang penting pesan, boro-boro memikirkan kesan

Karena mereka tak diberi kesempatan perdaban kekinian
Karena penghargaan terhadap mereka mulai luluh

Ada mereka yang bekerja tanpa ideologi
Hantam sana, hantam sini
Padahal massa mempercayakan mereka

Ini karena mereka tak dapat yang sepadan
Mencari dan mengejar empunya acara
Mengharapkan persegi berwana putih, atau kadang cokelat

Sensasi, kuantitas, aktualitas,
Sulit aku mengejarmu
Aku ingin menyelam yang dalam, yang berkualitas, yang berkesan

Tapi jaman menentang, sang kapital yang merancang
Informasi menjadi tak punya harga diri

Satu dua orang sudah mencoba mengubah sistem, membangun dinasti baru
Lagi-lagi dihadang oknum yang membuat bau najis paragraf laporan

Mereka yang tahu dan membaca sepak terjang para senior
Mereka yang sebelumnya punya visi
Sekarat, diculik kenihilan arti

Tuesday, April 5, 2011

Kursus Narasi Angkatan ke XI periode Mei – September 2011

Kursus ini dirancang untuk orang yang ingin belajar menulis panjang dan memikat sekaligus mendalam. Ia juga diperuntukkan bagi mereka yang berminat menulis esai atau buku.


Pengajar utama kursus ini Andreas Harsono, wartawan yang pernah bekerja di beberapa media internasional, anggota International Consortium of Investigative Journalists, pada 1999-2000 mengikuti Nieman Fellowship di Universitas Harvard, Amerika Serikat. Budi Setiyono, wartawan Jakarta, pernah bekerja untuk Suara Merdeka (Semarang) dan majalah Pantau (Jakarta). Ia jadi co-editor buku Revolusi Belum Selesai yang berisi kumpulan pidato politik Presiden Soekarno serta Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Kini ia sedang menyelesaikan buku soal penyair A.S. Dharta dari Lembaga Kebudayaan Rakyat.


Kursus ini juga mendatangkan penulis dari luar Pantau, mereka adalah:


Musdah Mulia – seorang feminis Muslim terkemuka di Asia, peneliti, konselor, penulis, dan aktif di berbagai lembaga masyarakat.


Seno Gumira Ajidarma—Wartawan, Fotografer, Penulis, Dosen Institut Kesenian Jakarta. Ia telah melahirkan banyak karya. Dalam kurun waktu 1988 – 1999 ia membuat buku kumpulan cerita pendek berjudul “Manusia Kamar”, “Penembak Misterius”, “Saksi Mata”, “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi”, “Sebuah Pertanyaan untuk Cinta” dan “Iblis Tidak Pernah Mati”. Beberapa penghargaan diraihnya yaitu Sea Write Award pada tahun 1987, dan Dinny O’Hearn Prize for Literary untuk karyanya berjudul “Saksi Mata” (1997). Masih banyak karyanya yang lain di antaranya “Matinya Seorang Penari Telanjang” (2000) dan “Negeri Senja” yang mendapat Khatulistiwa Literary Award 2004.


Harga kursus ini 4 juta rupiah, sudah termasuk semua materi dan bahan bacaan, baik berupa buku maupun bahan-bahan dalam bentuk hard copy, serta sertifikat.


Hubungi:
Siti Nurrofiqoh (Program Officer)
P a n t a u
Jl. Raya Kebayoran Lama
No 18 CD Jakarta Selatan 12220
Telp/Fax. 021 722-1031/021- 7221055
Website. www.pantau.or. id
Mobile. 0813 82 460 455

Monday, March 21, 2011

Nasihat Kawan Dekat

Aku sudah baca buku barumu
Biasa saja. Tak ada yang istimewa
Seperti tidak dari hati

Tak ada harmoni dalam harmonisasi
Tidak seperti kita dulu
Yang selalu berangkat dari hati, lembut ataupun keras
Sampai kepala angguk-angguk ataupun mengombak

Katanya akan datang Paman Sam
Bak dewa penolong bagimu, memenuhi rasa inginmu
Tapi ia datang dari peradaban kapitalis, serakah

Kau pernah mengajakku memainkan lagi si kayu elok
Siapa diantara kita yang jadi John Lennon atau Paul Mc Chartney?
Tapi aku berharap jadi Freddy Mercury
Mengutamakan harmonisasi, seperti pemain angklung

Kau terlalu vulgar menunjukkan siapa dirimu
Hey… orang-orang tak peduli
Yang peduli cuma empunya aksara besar kecil

Kau berharap kosmos memberi positivismenya padamu
Berpikir memadukan alam dan Tuhan, seperti Stephen Hawking
Tapi kau tak mau menolong sesama
Ideologimu abu-abu

Seperti sang bintang kebanyakan, kau memulai pandangan palsu
Demi imaji dan fantasi
Aku yakin, kau tahu itu salah. Salah besar

Sepele memang, tak seperti budaya korupsi di negeri ini
Hati-hati, yang salah ini lama-lama bisa kau benarkan
Semakin ia menghantui kejeniusanmu, maka semakin palsu
Inilah agenda besar pengikut tatanan dunia baru

Atau kau memang mengikuti para liberal?
Mendominasi dunia dan pikiran manusia?
Ingatlah, bahwa aku bangga dengan agraris dan Marxis
Aku akan jadi kritikus jika kau demikian

Kawan, aku hanya bisa mengingatkan bahwa itu palsu
Coba kau bayangkan bagaimana akhirnya?
Ideologimu yang dulu, padi yang merunduk, menantimu…

Saturday, February 26, 2011

Besar dan Berguna

Pertama kali aku melihat dia didorong dengan kursi roda
Ia pandangi putra-putri di rumah Tercintanya

Aku tak mengenalnya
Aku tak mengetahui wataknya
Bahkan aku tak tahu detil wajah, dan cara berjalannya

Tapi aku merasa dekat dengannya, bahkan mesra
Dari apa yang kubaca
Dari orang yang bercerita tentang dia

Tak semua orang berani jadi penggagas
Kebanyakan hanya mengekor, menggeretak lewat kata-kata
Seperti permen karet, manis di awal, antah di akhir, cuma bikin rahang pegal

Tapi ia beda, ia berguna
Ilmu tak pernah mati
Meski usang tak relevan dimakan jaman

Ia tetap abadi
Seperti gravitasi yang tetap eksis meski ditinju kegeniusan relativitas

Isi pernyataan
Falsafah hidup
Konsepsi kebahagiaan
Saluran komunikasi

Inilah yang membuat ia beda
Yang membuat ia besar
Karena ia menggagas, bukan mengekor

Menulis adalah bekerja untuk keabadian, begitu kata Pramoedya Ananata Toer
Agar tidak ditelan masyarakat dan sejarah
Dan bukan sekedar retorika singa podium

Selamat jalan guruku, Ali Moechtar Hoeta Soehoet
Anda masih di tengah jaman
Karena Anda telah bekerja untuk keabadian


Saya dedikasikan puisi ini untuk Almarhum Ali Moechtar Hoeta Soehoet, pendiri Kampus Tercinta - Institut ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Beliau wafat pada Rabu, 23 Februari 2011, di usianya yang ke-83 tahun, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

Friday, February 11, 2011

Prasangka Buruk Ciptaan Media Massa

Hari ini, 11 Februari 2011, media massa ramai memberitakan siapa perekam video penyerangan dan kekerasan yang dialami jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Arif, sang perekam video, langsung dimintai keterangan sebagai saksi kunci oleh Mabes Polri.

Tak hanya itu. Media massa lokal, nasional, hingga internasional, menelusuri penyebar video sadis itu. Semua merujuk ke satu akun milik Andreas Harsono. Wartawan sekaligus aktivis Human Right Watch ini, jadi orang pertama yang mengunggah video itu ke situs web video sharing You Tube.

Karena bias media massa, dan pemberitaan yang serba tanggung, Andreas mendapat banyak cibiran dari masyarakat. Saya temukan dua tulisan yang mempermasalahkan peran Andreas sebagai pengunggah video, lalu mengatakan peristiwa Cikeusik merupakan skenario pihak asing. Bahkan ada yang mengatakan, peristiwa Cikeusik masih satu rencana dengan kerusuhan Temanggung, Jawa Tengah, yang terjadi dua hari kemudian, 8 Februari 2011. Pokoknya, dua (link) tulisan di bawah ini “coba” menguji teori konspirasi.



Mengandalkan kutipan berita dari media massa, tanpa konfirmasi dan verifikasi pihak terkait, orang-orang ini menarik kesimpulan. Andreas dikaitkan dengan konspirasi peristiwa Cikeusik. Mentang-mentang dia pengunggah pertama.

Apa yang salah dengan media massa? Sehingga wacana ini tercipta?

Sore hari, saya kirim pesan singkat ke Andreas Harsono. Menanyakan kronologi peristiwa, ancaman yang ia dapat, sampai kengawuran media menginterpretasikan pernyataan Andreas. Beberapa menit kemudian, kami lanjutkan pembicaraan via telepon.

Andreas mengatakan, seorang jemaah Ahmadiyah mengirim video itu ke Human Right Watch, organisasi yang concern terhadap isu Hak Asasi Manusia (HAM), tempat Andreas bekerja. “Mereka mencari lembaga yang kredibel.”

“Aku dimintai tolong oleh Ahmadiyah. Mereka kecewa dengan Metro Tv, karena Metro Tv tidak proporsional. Mereka pakai istilah “bentrokan”.”

Istilah “bentrokan” yang digunakan Metro Tv, tidak tepat untuk menggambarkan situasi saat itu. Dalam KBBI Edisi Ketiga (2005), kata bentrok punya arti: bercekcok, berselisih, berlawanan, bertentangan, berlanggaran, bertumbukan. Apakah istilah “bentrokan” bisa menggambarkan secara holistik 3 jamaah Ahmadiyah yang tewas dipukuli kelompok Islam fanatik?

Jika video ini tak disebarkan, mungkin masyarakat tak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ada tiga jamaah Ahmadiyah yang tewas. Namun yang tampak di video hanya dua. Sambil meneriakkan takbir, massa memukuli dua jamaah Ahmadiyah itu dengan benda tumpul dan melemparinya dengan batu, berkali-kali. Terbujur lemas di tanah, satu korban dalam keadaan tengkurap, dan satu lagi meringkuk miring. Keduanya tak lagi mengenakan celana. Tubuh berlumur darah. Dan akhirnya, mereka tewas.

Selain dicibir banyak orang, Andreas juga menerima ancaman pembunuhan yang masuk ke akun You Tube-nya. Tapi ia santai saja menanggapi ancaman itu. Ia juga telah menyiapkan pengacara jika kasus ini berlanjut.

Andreas hanya ingin masyarakat tahu, kekerasan macam apa yang dialami jamaah Ahmadiyah?

Saya cukup mengenal Andreas. Pria kelahiran Jember, Jawa Timur, pada 1965 ini, sensitif terhadap isu HAM. Andreas pernah cerita pada saya, hak asasinya sewaktu kecil dirampas oleh rejim Orde Baru. Ia keturunan Tionghoa. Nama, agama, dan bahasa sehari-harinya dulu identik dengan budaya Tionghoa. Ia terpaksa mengganti nama dan melepas sebagian adat-budaya itu karena diskriminasi masyarakat terhadap orang Tionghoa.

“Orang yang ditindas itu cuma punya dua pilihan. Terus ditindas atau melawan. Dan saya pilih melawan,” tukas Andreas.

Atas dasar latar belakang, Andreas melawan ketidakadilan HAM. Ia mengikuti isu HAM di Papua, Aceh, Maluku, Timor Leste, hingga jamaah Ahmadiyah. Ia berempati kepada orang yang mengalami diskriminasi, atau penindasan.

Sebagai seorang wartawan, ia pun melayani permintaan wawancara dari banyak media yang sedang meliput peristiwa ini. Detikcom, Bisnis Indonesia, KBR 68H, Radio Trijaya, CNN, BBC, Al Jazeera, APTN, hingga Respekt. Namun, ia tak mau diwawancara salah satu televisi swasta yang menganggap medianya selalu terdepan mengabarkan.

“Aku memang ga mau diwawancara Tv One. Aku tidak setuju dengan kebijakan redaksinya. Karena tidak mengedepankan verifikasi. Buat aku, esensi jurnalisme adalah verifikasi.”

Cara berpikir Andreas tentang jurnalisme, sangat dipengaruhi oleh pemikiran Bill Kovach, guru saat Andreas dapat Nieman Fellowship on Journalism di Harvard University, Amerika Serikat.

“Dalam membuat diskusi, Tv One tidak melakukan fungsi forum publik. Orang diadu. Mereka tidak peduli dengan demokrasi. Jadi hanya cari sensasi.”

Terlepas dari pro-kontra Ahmadiyah, saya fokus memandang media yang seharusnya jadi alat kontrol sosial. Bukan sebagai agen penyebar prasangka. Hanya karena faktualitas, keberimbangan dan keutuhan fakta diabaikan.

Belum dapat data lengkap, tapi terus saja mengomentari atau mewartakan. Hasilnya, hanya omong-kosong. Pengulangan saja. Sebuah analisa bisa didapat dari kedalaman fakta. Spekulasi hanya akan menyebar prasangka buruk dalam masyarakat.