Saturday, February 26, 2011

Besar dan Berguna

Pertama kali aku melihat dia didorong dengan kursi roda
Ia pandangi putra-putri di rumah Tercintanya

Aku tak mengenalnya
Aku tak mengetahui wataknya
Bahkan aku tak tahu detil wajah, dan cara berjalannya

Tapi aku merasa dekat dengannya, bahkan mesra
Dari apa yang kubaca
Dari orang yang bercerita tentang dia

Tak semua orang berani jadi penggagas
Kebanyakan hanya mengekor, menggeretak lewat kata-kata
Seperti permen karet, manis di awal, antah di akhir, cuma bikin rahang pegal

Tapi ia beda, ia berguna
Ilmu tak pernah mati
Meski usang tak relevan dimakan jaman

Ia tetap abadi
Seperti gravitasi yang tetap eksis meski ditinju kegeniusan relativitas

Isi pernyataan
Falsafah hidup
Konsepsi kebahagiaan
Saluran komunikasi

Inilah yang membuat ia beda
Yang membuat ia besar
Karena ia menggagas, bukan mengekor

Menulis adalah bekerja untuk keabadian, begitu kata Pramoedya Ananata Toer
Agar tidak ditelan masyarakat dan sejarah
Dan bukan sekedar retorika singa podium

Selamat jalan guruku, Ali Moechtar Hoeta Soehoet
Anda masih di tengah jaman
Karena Anda telah bekerja untuk keabadian


Saya dedikasikan puisi ini untuk Almarhum Ali Moechtar Hoeta Soehoet, pendiri Kampus Tercinta - Institut ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Beliau wafat pada Rabu, 23 Februari 2011, di usianya yang ke-83 tahun, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

Friday, February 11, 2011

Prasangka Buruk Ciptaan Media Massa

Hari ini, 11 Februari 2011, media massa ramai memberitakan siapa perekam video penyerangan dan kekerasan yang dialami jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Arif, sang perekam video, langsung dimintai keterangan sebagai saksi kunci oleh Mabes Polri.

Tak hanya itu. Media massa lokal, nasional, hingga internasional, menelusuri penyebar video sadis itu. Semua merujuk ke satu akun milik Andreas Harsono. Wartawan sekaligus aktivis Human Right Watch ini, jadi orang pertama yang mengunggah video itu ke situs web video sharing You Tube.

Karena bias media massa, dan pemberitaan yang serba tanggung, Andreas mendapat banyak cibiran dari masyarakat. Saya temukan dua tulisan yang mempermasalahkan peran Andreas sebagai pengunggah video, lalu mengatakan peristiwa Cikeusik merupakan skenario pihak asing. Bahkan ada yang mengatakan, peristiwa Cikeusik masih satu rencana dengan kerusuhan Temanggung, Jawa Tengah, yang terjadi dua hari kemudian, 8 Februari 2011. Pokoknya, dua (link) tulisan di bawah ini “coba” menguji teori konspirasi.



Mengandalkan kutipan berita dari media massa, tanpa konfirmasi dan verifikasi pihak terkait, orang-orang ini menarik kesimpulan. Andreas dikaitkan dengan konspirasi peristiwa Cikeusik. Mentang-mentang dia pengunggah pertama.

Apa yang salah dengan media massa? Sehingga wacana ini tercipta?

Sore hari, saya kirim pesan singkat ke Andreas Harsono. Menanyakan kronologi peristiwa, ancaman yang ia dapat, sampai kengawuran media menginterpretasikan pernyataan Andreas. Beberapa menit kemudian, kami lanjutkan pembicaraan via telepon.

Andreas mengatakan, seorang jemaah Ahmadiyah mengirim video itu ke Human Right Watch, organisasi yang concern terhadap isu Hak Asasi Manusia (HAM), tempat Andreas bekerja. “Mereka mencari lembaga yang kredibel.”

“Aku dimintai tolong oleh Ahmadiyah. Mereka kecewa dengan Metro Tv, karena Metro Tv tidak proporsional. Mereka pakai istilah “bentrokan”.”

Istilah “bentrokan” yang digunakan Metro Tv, tidak tepat untuk menggambarkan situasi saat itu. Dalam KBBI Edisi Ketiga (2005), kata bentrok punya arti: bercekcok, berselisih, berlawanan, bertentangan, berlanggaran, bertumbukan. Apakah istilah “bentrokan” bisa menggambarkan secara holistik 3 jamaah Ahmadiyah yang tewas dipukuli kelompok Islam fanatik?

Jika video ini tak disebarkan, mungkin masyarakat tak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ada tiga jamaah Ahmadiyah yang tewas. Namun yang tampak di video hanya dua. Sambil meneriakkan takbir, massa memukuli dua jamaah Ahmadiyah itu dengan benda tumpul dan melemparinya dengan batu, berkali-kali. Terbujur lemas di tanah, satu korban dalam keadaan tengkurap, dan satu lagi meringkuk miring. Keduanya tak lagi mengenakan celana. Tubuh berlumur darah. Dan akhirnya, mereka tewas.

Selain dicibir banyak orang, Andreas juga menerima ancaman pembunuhan yang masuk ke akun You Tube-nya. Tapi ia santai saja menanggapi ancaman itu. Ia juga telah menyiapkan pengacara jika kasus ini berlanjut.

Andreas hanya ingin masyarakat tahu, kekerasan macam apa yang dialami jamaah Ahmadiyah?

Saya cukup mengenal Andreas. Pria kelahiran Jember, Jawa Timur, pada 1965 ini, sensitif terhadap isu HAM. Andreas pernah cerita pada saya, hak asasinya sewaktu kecil dirampas oleh rejim Orde Baru. Ia keturunan Tionghoa. Nama, agama, dan bahasa sehari-harinya dulu identik dengan budaya Tionghoa. Ia terpaksa mengganti nama dan melepas sebagian adat-budaya itu karena diskriminasi masyarakat terhadap orang Tionghoa.

“Orang yang ditindas itu cuma punya dua pilihan. Terus ditindas atau melawan. Dan saya pilih melawan,” tukas Andreas.

Atas dasar latar belakang, Andreas melawan ketidakadilan HAM. Ia mengikuti isu HAM di Papua, Aceh, Maluku, Timor Leste, hingga jamaah Ahmadiyah. Ia berempati kepada orang yang mengalami diskriminasi, atau penindasan.

Sebagai seorang wartawan, ia pun melayani permintaan wawancara dari banyak media yang sedang meliput peristiwa ini. Detikcom, Bisnis Indonesia, KBR 68H, Radio Trijaya, CNN, BBC, Al Jazeera, APTN, hingga Respekt. Namun, ia tak mau diwawancara salah satu televisi swasta yang menganggap medianya selalu terdepan mengabarkan.

“Aku memang ga mau diwawancara Tv One. Aku tidak setuju dengan kebijakan redaksinya. Karena tidak mengedepankan verifikasi. Buat aku, esensi jurnalisme adalah verifikasi.”

Cara berpikir Andreas tentang jurnalisme, sangat dipengaruhi oleh pemikiran Bill Kovach, guru saat Andreas dapat Nieman Fellowship on Journalism di Harvard University, Amerika Serikat.

“Dalam membuat diskusi, Tv One tidak melakukan fungsi forum publik. Orang diadu. Mereka tidak peduli dengan demokrasi. Jadi hanya cari sensasi.”

Terlepas dari pro-kontra Ahmadiyah, saya fokus memandang media yang seharusnya jadi alat kontrol sosial. Bukan sebagai agen penyebar prasangka. Hanya karena faktualitas, keberimbangan dan keutuhan fakta diabaikan.

Belum dapat data lengkap, tapi terus saja mengomentari atau mewartakan. Hasilnya, hanya omong-kosong. Pengulangan saja. Sebuah analisa bisa didapat dari kedalaman fakta. Spekulasi hanya akan menyebar prasangka buruk dalam masyarakat.