Tuesday, August 2, 2011

Videographer Idolaku Telah Tiada

Berawal dari rasa kagum atas sebuah video dokumenter tentang badai salju yang menyelimuti 68% wilayah Amerika Serikat, pada akhir 2009 dan awal 2010. Saya menonton video itu di YouTube. Saya suka semua unsur sinematografi video itu. Terlebih unsur storytelling, yang bagi saya, menjadi kunci keberhasilan karya dokumenter.

Saya mencari nama si videographer dalam jejaring sosial Facebook, lalu mengajukan permintaan pertemanan kepadanya.  Saya baca sedikit informasi tentang dirinya. Ia orang Indonesia yang bekerja di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat. Kulitnya sawo matang. Rambut lurus belah tengah. Berkumis tipis. Wajah bulat dihiasi kacamata ouval. Ia selalu memasang senyum kecil setiap kali difoto. Saat itu, ia memajang fotonya bersama sang istri sebagai profile picture.

Tak selang satu jam, ia menerima saya sebagai teman. Kami berteman sejak November 2010. Mutual friends di antara kami adalah Andreas Harsono, Budi Setiyono, Coen Husain Pontoh, Wahyu Muryadi, dan Toriq Hadad. Mungkin, mutual friends inilah yang membuat ia menerima permintaan pertemanan dari saya.

Entah siapa sebenarnya si videographer ini, saya tak kenal. Kami tak pernah berjumpa. Saya tak pernah mendengar suaranya. Saya tak tahu bagaimana cara ia bicara. Cara ia berjalan. Tapi, saya kagum atas kejeliannya menggarap video dokumenter "Strom: A Winter We Never Forget." Ia merekam, mengumpulkan 49 footage dari para YouTubers, menyunting, dan mencari narator. Konten video itu kurang lebih berdurasi 11 menit, ditambah credit title 3 menit. Di YouTube, video itu dipecah menjadi 2 bagian (Part 1 dan Part 2)

Sekali lagi, saya mengagumi karyanya. Bagi saya, ia videographer dan penulis naskah yang hebat.

Jauh di nyata, dekat di maya. Saya sering jadi tamu tak diundang, main ke ruang tamu Facebook-nya. Mengecek jikalau ada karya video terbaru yang ia posting di wall. Ingin rasanya menanyakan tips dan trik membuat video dokumenter. Terlebih soal storytelling. Namun keberanian untuk bertanya itu belum ada. Alhasil, setiap kali berkunjung, saya hanya menyimak status-statusnya, yang selalu bernuansa cinta dan kehidupan.

Saya merekomendasikan video itu ke beberapa teman. Teman dekat saya, Sarah Ghariza, sempat mempublikasi video tersebut di Facebook. Ia juga mengungkapkan kekagumannya.

Februari 2011, sejak lulus kuliah dan mulai bekerja di salah satu media massa, saya tak pernah lagi mengunjungi ruang tamu Facebook-nya.

Hingga pada 1 Agustus 2011, Andreas Harsono, guru menulis saya di Yayasan Pantau, yang juga berteman dengan sang videographer, menulis kabar duka lewat statusnya.

“Berita duka. Kontributor Pantau, Anthony B. Tejamulya, yang selama bbrp tahun terakhir bekerja di Philadelphia, meninggal dunia dalam perjalanan pesawat terbang Philadelphia-Jakarta. Dia meninggalkan isteri dan dua anak remaja. May he rests in peace.”

Sempat tak percaya. Anthony B. Tejamulya, sang videographer yang saya kagumi telah berpulang. Saya mengecek akun Facebook-nya. Benar saja, banyak ucapan berduka di sana. Anthony akrab disapa Bakti, Teja, ataupun Tejo. Ia meninggal 29 Mei 2011 di pesawat dalam perjalanan pulang dari Amerika Serikat ke Jakarta. Berarti, hampir 2 bulan saya ketinggalan kabar ini.


Pesan dari Nur Fatimah Djie di wall Anthony, 22 Maret 2011



















Di wall Anthony, Nur Fatimah Djie sempat menanyakan kabar, pada 22 Maret 2011, jauh hari sebelum Anthony meninggal. “Bakti Tejamulya...kmanakah dirimu???kok ngga tau muncul lagi??!!!!!!”

“Memei, aku di sini kok. Ntar ya, kalau nggak sibuk, aku muncul lagi,” jawab Anthony, 2 hari kemudian.

Nur Fatimah yang oleh Anthony dipanggil Memei, kembali mengomentari, “Okelah kalo begitu tejo,smoga sukses ya.....salam untk kluarga.”

29 Juni, sebulan setelah Anthony tiada, Nur Fatimah melanjutkan thread status comment di atas. “Ahhh Tejo ternyata ini trakhir kita bersua setelah sekian lama tak bertemu...disaat waktu inipun sebenarnya sakitmu sudah ada,,,tapi masih saja tejo bisa menyenangkan teman2nya....itulah TEJO yang manis dan tegarrrrrr.......”

Agata C. Bakti, istri Anthony, membalas comment Nur Fatimah. “Waktu Bakti posting comment di atas, kondisinya masih sehat kok, Mei. Tp memang sebenarnya penyakit itu dah bersarang di tubuhnya. Kondisinya mulai menurun yaitu sejak 23 Mei. Itu pun gak parah-parah amat. Masih termasuk segar. Makanya, kejadian di pesawat itu sangat membuatku kaget n gak percaya sama sekali. Tapi sekarang Bakti dah nyaman dan bahagia dalam kehidupan yg abadi di rumah Bapa.”

Agata juga membalas ucapan duka dari teman-teman Anthony yang lainnya, salah satunya Retty Nereng. Dari comment Agata kepada Retty, saya menangkap cerita menarik di balik akun Facebook Anthony, yang sejak Maret lalu telah ditutup, namun sebulan setelah kematian Anthony, akun itu aktif kembali.

“Retty Nereng : Ini memang aneh, Retty. Setahuku, sekitar awal Maret, Bakti dah menutup A/C fb-nya. Sampai saat terakhir kami masih aktif memakai komputer (+inet) di Phila, yaitu tgl. 26 Mei malam waktu Phila. Sesudah itu, komputer n laptop dah di-packing. Kami gak pernah membukanya lagi. 28 Mei pagi, kami dah ke airport di NY. 29 Mei, Bakti meninggal. Jadi, A/C fb Bakti ini aktif lagi sesudah kepergiannya ke rumah Bapa. Aneh bin ajaib 'kan? Aku baru tahu bahwa fb ini aktif, yaitu 29 Juni sewaktu mau posting statusku. Waktu itu juga Bagas yg jeli, sehingga ngeh bhw fb papanya aktif lagi.”


Pesan dari Retty Nereng di wall Anthony, 9 Juli 2011



















Hingga kini, Agata dan kedua anaknya tidak tahu siapa yang mengaktifkan kembali Facebook Anthony. Mereka tidak bisa mengakses karena tidak mengetahui password.

Apapun cerita di balik akun Facebook Anthony, dahulu saya sering jadi tamu tak diundang di rumah mayanya. Saya selalu mengingat senyum kecil itu. Kumis tipis. Dan kacamata ouvalnya. Kini, yang terpampang di wall hanya ucapan duka. Selamat jalan. Semoga tenang di sisi Tuhan. Dan sebagainya. Status bernuansa cinta dan kehidupan yang tiap hari ditulis Anthony, telah tiada. Entah sampai kapan akun Facebook-nya bakal aktif, dan masih dikunjungi para sahabat dan kerabat.

Saya tak tahu ia sakit apa. Saya tak sempat memverifikasi karena tak kenal dengan keluarganya. Jika tahu ia sedang sakit, setidaknya saya akan menulis “Semoga lekas sembuh” di wall-nya. Saya tak sempat memenuhi adab pertemanan itu. Melalui tulisan ini, saya doakan semoga Pak Anthony tenang di sisi Tuhan. Dan keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran. Amin.

Sejak pertama kali menonton “Storm: A Winter We Never Forget,” dokumenter ini telah masuk daftar video favorit saya. Namun kini, setiap kali menontonnya, ada rasa kosong di hati saya. Dan, ada penyesalan dalam diri. Saya tak sempat menanyakan bagaimana menyusun storytelling video dokumenter sehebat itu?

Selamat jalan Pak Anthony...

Akun Facebook Anthony B. Tejamulya