Pertama kali aku melihat dia didorong dengan kursi roda
Ia pandangi putra-putri di rumah Tercintanya
Aku tak mengenalnya
Aku tak mengetahui wataknya
Bahkan aku tak tahu detil wajah, dan cara berjalannya
Tapi aku merasa dekat dengannya, bahkan mesra
Dari apa yang kubaca
Dari orang yang bercerita tentang dia
Tak semua orang berani jadi penggagas
Kebanyakan hanya mengekor, menggeretak lewat kata-kata
Seperti permen karet, manis di awal, antah di akhir, cuma bikin rahang pegal
Tapi ia beda, ia berguna
Ilmu tak pernah mati
Meski usang tak relevan dimakan jaman
Ia tetap abadi
Seperti gravitasi yang tetap eksis meski ditinju kegeniusan relativitas
Isi pernyataan
Falsafah hidup
Konsepsi kebahagiaan
Saluran komunikasi
Inilah yang membuat ia beda
Yang membuat ia besar
Karena ia menggagas, bukan mengekor
Menulis adalah bekerja untuk keabadian, begitu kata Pramoedya Ananata Toer
Agar tidak ditelan masyarakat dan sejarah
Dan bukan sekedar retorika singa podium
Selamat jalan guruku, Ali Moechtar Hoeta Soehoet
Anda masih di tengah jaman
Karena Anda telah bekerja untuk keabadian
Saya dedikasikan puisi ini untuk Almarhum Ali Moechtar Hoeta Soehoet, pendiri Kampus Tercinta - Institut ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Beliau wafat pada Rabu, 23 Februari 2011, di usianya yang ke-83 tahun, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
No comments:
Post a Comment