Saturday, December 4, 2010

Barang-Jasa di Pusat Sparepart Mobil Sawah Besar

Pembeli adalah Raja. Inilah salah satu satu prinsip dagang. Kepuasan dan kenyamanan pembeli di utamakan, bahkan jadi nilai mati. Kini, prinsip itu terabaikan.

Pada Jumat dan Sabtu (2 & 3 Desember 2010) lalu saya berkunjung ke Wisma Sawah Besar, Jakarta Pusat, untuk membeli beberapa sparepart dan asesoris mobil. Membeli dan memasang alarm mobil, jadi agenda utama.

Di Sawah Besar, konon katanya adalah pusat penjualan sparepart mobil, dengan harga miring. Niat mencari harga murah, malah akhirnya saya mengeluarkan duit ekstra. Ditambah lagi, ada rasa kurang nyaman dan aman saat berada di sana. Karena itulah, saya simpulkan saya tidak puas belanja di Sawah Besar.

Saya akan mengulas faktor kenyaman, keamanan, dan terakhir, kepuasan.

Faktor Kenyamanan
Hari Jumat, saya tiba di Sawah Besar jam 1 siang. Setelah parkir mobil di pinggir jalan, 2 sampai 3 orang menghampiri. Mereka bertanya:
“Cari apa bos?”
“Mau beli sparepart? Biar saya bantuin!”
“Bos, lampu depannya sudah buram tuh, sini saya bersihin.”
“Ayo saya antar ke toko yang murah.”

Semua pertanyaan itu, saya jawab dengan kata, “Tidak.”

Ini kali pertama saya ke Sawah Besar. Ternyata di sana banyak calo. Masuk ke pertokoan, juga demikian. Ada saja calo yang bertanya, “Cari apa bos? Bisa dibantu?” Ada yang memberi rekomendasi toko murah. Bahkan, ada calo yang ikut memberi harga saat saya tawar menawar dengan pedagang. Saya jadi bingung, ini yang punya toko sebenarnya siapa sih?

Satu lagi hal penting yang perlu diketahui, Sawah Besar punya aturan main sendiri dalam memperlakukan barang dan jasa. Barang seperti sparepart atau asesoris, jadi urusan pedagang yang punya toko. Jasa seperti pasang sparepart atau asesoris, jadi jatah mekanik. Tak ada ikatan kerja formal antara pedagang dan mekanik. Jadi, setelah tawar menawar barang dengan pedagang, kita juga harus tawar menawar jasa dengan mekanik – jika barang yang dibeli ingin dipasang di tempat.

Kesepakatan itu sudah berlangsung lama. Tak heran, selain calo, di Sawah Besar juga banyak mekanik nakal. Selain menaruh harga tinggi, para mekanik juga mencari uang ekstra dari sparepart-sparepart kecil.

Contohnya, ketika saya pasang alarm, si mekanik bilang, “Ini harus dipasang soket dan relay lagi untuk nyambungin alarm ke mesin.” Karena ini salah satu permintaan saya, maka saya restui. Masuklah dia ke toko, dan kembali membawa soket dan relay seharga 150 ribu. Saya terkejut dengan harga itu. Terlebih, merk relay yang dibawa itu banyak produk imitasinya.

Selidik punya selidik, harga soket dan relay yang dibawa si mekanik itu, masing-masing cuma 10 ribu dan 50 ribu. Wah, saya ‘diketok’ 90 ribu. Hahaha…

Pusat onderdil Sawah Besar memang tak disertai pendingin ruangan, terbilang kumuh, sehingga membuat udara dalam pertokoan pengap. Bangunannya usang tak terawat. Pokoknya, jauh dari kesan mewah. Bagi saya, semua itu tak masalah. Justru inilah yang membuat harga sparepart di Sawah Besar murah. Pedagang tak harus bayar mahal untuk sewa toko dan perawatan bangunan.

Yang jadi masalah bagi saya, adalah keberadaan calo dan mekanik itu. Mereka terlalu ekstrim dan bebas. Andai saja pedagang mau kerjasama dengan mekanik, mungkin para mekanik tak akan senakal itu. Karena mereka punya jatah bayaran yang jelas atas jasa yang dikerjakan. Jika sistem aturan ini dimainkan, Sawah Besar akan lebih teratur dan nyaman.

Faktor Keamanan
Gerak-gerik mencurigakan para calo menimbulkan rasa tak aman. Mata ini selalu memperhatikan tingkah mereka. Ada yang mengitari mobil, memperhatikan kekurangan mobil, lalu menawari pasang ini-itu. Hal-hal yang tak prinsipil terus ditanyai.

Saat sedang pasang alarm, seorang calo memperhatikan barang-barang di dalam mobil saya. Saat itu saya membawa barang berharga dan uang tunai. Tingkah aneh ini membuat saya makin waspada dengan barang bawaan. Jika ada seorang calo yang menawari ini-itu, langsung saya jawab: “Tidak.”

Di saat bersamaan, datanglah mobil Toyota Avanza dan Honda Civic Genio. Keduanya parkir mengapit mobil saya.

Si empunya Avanza dikerubuti 3 calo. Kesalahan ia lakukan, ia bilang ke para calo bahwa dirinya butuh spion Avanza digital sebelah kiri. Mereka berkata, “Tunggu di sini aja bos, biar kita cariin.” Satu orang calo masuk ke pertokoan, dan dua tinggal di tempat mengajak ngobrol si pemilik Avanza.

Calo yang mengambil spion tak lama datang. Saya tak tahu pasti ia kasih harga berapa. Yang jelas, spion digital harganya 1 juta ke atas. Belum lagi persenan “tinggi” dan ongkos pasang ketiga calo tersebut.

Saya dengar pemilik Avanza keberatan dengan harga yang mereka berikan. Tapi ketiga calo itu terus memaksa. Pemilik Avanza kalah argumen. Ia tidak tegas. Ia pun akhirnya menyetujui harga dan menyuruh para calo memasang spion. Seorang calo memasang spion, dibantu dua calo lainnya. Satu calo hanya memegangi spion. Dan satunya lagi bertugas memberikan obeng, tang, dan baut. Kedua calo itu hanya meramaikan, kontribusinya tak signifikan.

Setelah spion dipasang. Kedua calo yang hanya meramaikan tadi, meminta ongkos jasa. Saya dengar mereka minta 100 ribu. Tapi si pemilik Avanza keberatan. Ia pikir, kesepakatan total harga di awal sudah termasuk ongkos jasa ketiga calo itu. Ternyata, ongkos jasa itu hanya untuk satu calo yang benar-benar memasang spion. Adu mulut terjadi. Lalu datanglah beberapa rekan calo lainnya. Mereka menekan si pemilik Avanza untuk memberi “hak” kedua calo yang kontribusinya tak signifikan, tapi minta ongkos tinggi.

Karena dikeroyok banyak mulut, si pemilik Avanza luluh. Jika ia tak memberi uang, mungkin keamanan diri dan mobilnya bisa terancam. Akhirnya, ia hanya memberi 50 ribu. Kedua calo itu tidak puas, mereka bisik-bisik sinis.

Beda lagi cerita si pemilik Honda Civic Genio. Ia memang menolak jasa para calo, dan langsung masuk ke pertokoan. Ia membeli kampas kopling dan memakai jasa mekanik untuk memasang. Di tengah mekanik sedang memasang, para calo pun beraksi. Mereka tawari agar si pemilik Genio membersihkan lampu depan yang menurut mereka sudah kotor. Calo memaksa. Dan lagi-lagi si pemilik Genio tidak tegas.

Kedua lampu depan dibawa para calo ke pertokoan. Calo tersebut minta ongkos 150 ribu. Tak hanya itu, ada calo yang masuk ke dalam mobil. Entah apa yang dilakukan. Tapi bagi saya, ini pertanda krisis keamanan di daerah Sawah Besar.

Sekitar 30 menit, calo tersebut datang dan memasang lampu. Lagi-lagi kelompok calo itu menjalankan strategi, sama seperti yang mereka lakukan pada pemilik Avanza. Dua calo datang membantu pasang lampu. Ada yang memegangi lampu, dan ada yang bertugas menyalakan-mematikan lampu dari bangku sopir.

Saya ajak ngobrol si pemilik Genio, dan menceritakan apa yang terjadi oleh si pemilik Avanza. Si pemilik Genio memang terlihat seperti orang berada, ia tak ada masalah dengan uang. Tapi ia berkata, risih dengan tingkah para calo yang semena-mena.

Endingnya, kedua calo yang jadi tim “hore” itu minta jatah ongkos, karena mereka merasa telah membantu mempercepat proses pemasangan lampu.

Tak lama sesudah itu, alarm yang dipasang di mobil saya selesai. Saya bergegas pulang. Saat melaju mobil dengan kecepatan tinggi, dari belakang terdengar suara ganjil. “Ngak-ngik Ngak-ngik.” Suara apa itu? Saya menepi dan turun untuk mengecek asal suara tersebut. Dan ternyata, suara itu berasal dari pintu belakang yang tak tertutup rapat. Padahal, saya merasa tak membuka pintu belakang. Lalu siapa yang membukanya?

Faktor Kepuasan
Sesampainya di rumah, saya mencoba fungsi dan kerja alarm yang baru saja dipasang. Dan ternyata, alarm tak bekerja dengan baik. Ketika alarm berada di posisi on, lalu central lock dibuka dengan kunci, dan pintu dibuka, sirinenya tidak mengeluarkan suara.

Ah sial, kerja mekanik Sawah Besar tidak sempurna. Buat apa pasang alarm jika pintu dibuka dengan kunci, tak keluar bunyi sirinenya. Ini memang kesalahan saya, tidak mengecek fungsi dan kerja alarm.

Keesokan harinya, Sabtu, saya kembali ke Sawah Besar. Tujuannya utama adalah mencari Atmo, mekanik yang kemarin menangani mobil saya. Saya mau minta dia membenahi pekerjaannya. Mungkin dengan ini, saya tak harus mengeluarkan uang lagi. Tapi, setelah saya kelilingi Wisma Sawah Besar, Atmo tidak ada. Saya minta nomor handphone Atmo kepada temannya. Saya hubungi nomor telepon tersebut, tapi Atmo tak menjawab.

Yasudahlah, terpaksa saya gunakan jasa mekanik lain untuk membenahi fungsi dan kerja alarm tersebut. Lagi-lagi saya disuruh ganti soket. Menurut Ujang, mekanik pengganti Atmo, soket yang saya gunakan salah. Saya turuti kemauannya untuk ganti soket. Saya jengah dengan tingkah mekanik. Lagi-lagi saya ‘diketok’, soket yang dibawanya seharga 50 ribu.

Saya cuma berkata, “Udah, pasanglah. Gua ga mau lama-lama di sini.” Setelah alarm dibenahi, saya tes satu persatu fitur alarm, berulang-ulang. Memastikan semua bekerja sebagaimana mestinya.

Serangkaian peristiwa itu, mulai dari ketidaknyamanan dan ketidakamanan di Sawah Besar, membuat saya tidak puas. Terlebih dengan tingkah para calo dan mekanik.

Saya pikir ini adalah dampak perekonomian Indonesia yang anjlok sejak 1998. Para calo tak bisa sepenuhnya disalahkan. Pemerintah punya tanggung jawab membenahi ini semua. Ini masalah perut. Mereka cari uang untuk makan. Dan memakai jalan pintas untuk menghalalkan segala cara. Prinsip dagang: pembeli adalah Raja, tak lagi dipegang teguh. Yang penting untung, untung, untung, dan uang.

Bicara sisi negatif, tak layak jika tak membicarakan sisi positif pusat penjualan sparepart Wisma Sawah Besar. Memang harga sparepart di sana murah-murah. Jika ingin dapat harga murah, jangan membeli di lantai bawah. Pergilah ke lantai dua atau tiga, mereka menjual sparepart atau asesoris dengan harga pas.

Saya dapat alarm merk M1+ seharga Rp 490.000,- di lantai dua. Harga ini murah. Saya sudah cek di beberapa milis dan online shop, rata-rata menjual di atas 500 ribu.

Jadi, jika ada yang ingin membeli sparepart dengan harga miring, datanglah ke Sawah Besar. Tapi jangan pasang sparepart atau asesoris itu di sana. Karena, selain ongkos jasanya mahal, saya masih meragukan keahlian dan keterampilan mereka. Dan yang terpenting, telitilah sebelum membeli. Jangan sampai dapat barang imitasi.

Sunday, November 28, 2010

Gandari

Puisi Goenawan Mohamad


Lima hari sebelum ibu para Kurawa itu membalut matanya dengan sehelai kain hitam, mendampingi suaminya, raja buta itu, sampai kelak, beberapa detik sebelum ajal...

la, yang tak ingin lagi melihat dunia, sore itu
menengok ke luar jendela buat terakhir kalinya:

Sebuah parit merayap ke arah danau. Dua ekor tikus mati,
hanyut. Sebilah papan pecah mengapung.
Sebatang ranting tua mengapung.

Di permukaan telaga, di utara, dua orang
mengayuh jukung yang tipis, dengan
dayung yang putus asa.

Ombak seakan-akan mati. Air menahan mereka.

"Mereka lari dari koloni kusta," kata Gandari dalam hati,
"dan mereka lihat warna hitam
yang berhimpun di atas bukit."

Malam, sebenarnya mendung, seakan mendekat.
Air naik deras ke langit:
sebuah pusaran, sebelum hujan datang, lebat,
menghantam danau.

Dan angkasa gemetar
Dan mengubah diri ke dalam putting beliun.

*

Kemudian malam. Malam yang sesungguhnya:
Pada halaman langit
Bintang membentuk asteris,
yang merujuk ke nama yang tak ada
juga nama seorang dewa yang
susut

*

Dan guruh berkejaran dengan hujan
sepanjang trowongan langit
yang merendah.

Kemudian kering. Kemudian gerimis,
seperti silabel yang lebat,
berdegup, bergegas, berdegup, dari pinggir galaksi,
membentuk kata, kata, kata...

Tapi perempuan yang sedih itu tak memberinya arti.

*

Di luar aula para dewa, ketika angkasa kosong,
Brahma mencipta Kematian.
"Kali akan datang," katanya,
"dan akan melambaikan tangannya yang ungu.
Tenanglah, semua tak akan apa-apa."

Di dalam ruang, tak ada yang ingin bicara.

Dan dari bulan yang lambat
Maut meloncat ke kerumunan mega.
la menari. Di pelukannya yang putih, ada mayat
yang terpenggal.

*

Malam itu para dewa pun diberitahu,
itulah tarian Kali yang pertama.

*

"Aur mengisut, air surut,
cahaya jadi sepa, dan dari langit
tak ada lagi apa-apa. Hanya di malam-malam tertentu
dewa-dewa menciptakan teks mereka
yang panjang, sepanjang ribuan makam.

"Mereka menghendaki aku, Kematian,
Mereka menghendaki aku."

*

Mungkin Gandari mendengar kata-kata itu.

Tapi kemarin di balairung itu,
bersama Destarastra yang berkabung,
ketika ia dengar "pyuuu" kepodang hutan,
ia tak tahu isyarat apa
yang telah disampaikan.

Itu adalah hari kesendirian mereka yang ke-7.
Suami-isteri di ruang selatan: sepasang tahta tua;
dindingyang terlindung gordin; sepetak lantai
dengan medan catur yang panjang; bidak-bidak berat
yang berdiri berjauhan: ksatria asing, pion-pion yang bungkam,
para pendeta yang angkuh, benteng bujursangkar.

Gandari pernah menyukai semua itu: "Dulu aku
memimpikan makhluk imajiner di hitam-putih senjakala."

Tapi tiap malam Destarastra, suaminya,
hanya bisa mengkhayalkan pelbagai unggas
dengan bulu yang ia sebut hijau.

*

Tapi tidak di malam itu. Dari plafon
yang dipahat gambar naga,
cahaya makin tak berarti.
Lampu ke-3 tak ada lagi.

Ketika itulah raja yang buta itu berkata,
"Aku membau amis empedu."

Meskipun semalam
tak seorang pun mempersembahkan
hewan korban.

Orang-orang bersenjata
telah meninggalkan mereka.

*

Pada pukul 7:45 perempuan itu pun menggeruskan kuku
tangannya
pada kain lena lengan kursi.

la dengar degup kaki kuda
yang lelah itu lagi, seperti kemarin, seperti kemarin,
dan seorang prajurit luka yang setiap senja berkata kepadanya:
"Hamba membawa kabar dari peperangan, Ratu."

Gandari hanya memandang ke halaman. la seakan men-
dengar
kalamakara di gerbang itu bergerak
Bersama suara katak yang mengigau.

*

Mari kita pergi.
Ke sebuah kota di mana nujum
tak dibaca. Di mana anak-anak
tak tumbuh. Di mana masa lalu adalah masa kini.
Di mana "aku" hanya
kata sebelum amnesia.

Mari kita pergi ke sebuah kota
di mana kabar adalah tafsir
yang terlambat.

*

Tapi ia tahu, hanya ada sebuah kota yang tinggal.
Di Dhenuka. Di perbatasannya yang kering, Kali berdiri
dengan satu kaki, selama 15 ribu tahun.
Parasnya yang gelap seperti Semeru malam
memandang ke 700 rangka
yang terhantar. "Paduka tak memberiku cermin.
Hanya bisa kulihat wajahku
pada langit sekeruh tembaga.
Paduka tak memberiku warna
mesMpun pada perak pagi."

Brahma tertawa: "Tapi kau kematian.
Kau Mertyu."

"Ya, aku kematian."

"Aku suka gerak burung di pohon yang pucat.
Aku suka bau tahi sapi yang separuh terbakar.
Aku suka—"

*

Mungkin juga Gandari cuma bermimpi
tentang dewa-dewa yang bodoh.

Kini ia ingin duduk.

"Jangan kau hanya diam," suaminya berkata.
Ia lihat jari kisut lelaki itu
meremas kain kasar yang terjela
dari sisi mahligai;
karena ia sebenarnya gemetar.

Ketikaitu,
utusan itulah yang bersuara.

"Bhisma gugur, dengan 100 liang luka."

"Dan ketika orang tua itu rubuh
di bawah buMt-bukit Kurusetra,
perang berhenti sebentar,
dan senjata diletakkan.
Dan di kedua perkemahan
orang-orang menunduk:
'Bhisma gugur/ mereka berbisik,
'dengan 100 liang luka'."

*

"Katakan kepada saya,
apakah yang paling menyakitkan
dari perang? Kekalahan?
Atau kebencian?"

Gandari ingin mengatakan kalimat itu, tapi
di sudut halaman yang gelap,
utusan yang letih itu
hanya memejamkan matanya.

Ratu itu seperti melihat bidak-bidak catur bergerak.

*

2010

Goenawan Mohamad lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 Juli 1941. Kumpulan puisinya antara lain Parikisit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), dan Misalkan Kita di Sarajevo (1998). Kini ia sedang menyiapkan buku puisinya yang terbaru, bertajuk Don Quixote.

Dikutip dari Harian Kompas, Minggu, 28 November 2010.
Rubrik Seni, h. 22.

Wednesday, November 24, 2010

Pagar Api

Muatan redaksional yang dicampuradukan dengan iklan, merupakan indikasi lemahnya independensi suatu media. Terlebih, untuk media gratisan. Karena ia sangat bergantung pada pengiklan. Karena itu, firewall atau pagar api yang memisahkan redaksi dan bisnis, jadi hal yang prinsipil dalam kerja jurnalisme.

Di Indonesia, dalam satu dekade terakhir, bisnis media cetak gratisan, berkembang pesat. Ini pertanda baik dalam praktik kebebasan pers, sebagaimana telah diatur Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999.

Majalah dwimingguan Area, adalah satu dari sekian banyak majalah gratis di Jabodetabek. Area mulai terbit pada 2004. Bernaung di bawah kelompok Media Satu, yang bermarkas di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Bayu Maitra, salah seorang wartawan Area, bergabung di majalah gaya hidup ini sejak 2006. Karirnya terbilang pesat. Tahun 2007, Bayu resmi bergabung sebagai reporter. Pada 2008, saat berusia 25 tahun, ia sudah jadi Junior Editor.

Pemuda kelahiran 13 juli 1983 ini, kuliah jurusan Hukum di Universitas Padjajaran Bandung angkatan 2003. Bayu mengambil kelas ekstensi. Dengan harapan, kuliahnya bisa dibarengi dengan bekerja. Karena ia harus membantu ekonomi keluarga. “Nyokap gua single parents, dan tidak punya pekerjaan tetap. Adik gua juga masih sekolah.”

Bekerja di Area memaksa Bayu sering bolak-balik Jakarta-Bandung. Kuliahnya pun keteteran. “Waktunya tidak memungkinkan,” katanya.

Tahun 2007, saat menjadi reporter, Bayu ditugaskan membuat tulisan review produk telepon genggam terbaru Sony Ericsson. Saat itu, Sony Ericsson menaruh iklan di Area. Agar tercipta win-win solution, seorang marketing Area berjanji akan membuat tulisan yang isinya me-review produk terbaru Sony Ericsson itu. Dalam jurnalisme, tulisan macam ini sering disebut advertorial atau inforial. Beberapa perusahaan yang pasang iklan di suatu media, biasanya menuntut timbal balik. Salah satunya dengan meminta sebuah tulisan ‘titipan’ tentang produk mereka yang sifatnya persuasif atau propaganda.

Mualilah Bayu me-review produk tersebut. Fitur demi fitur ia jajali, lalu ditulis. Jika unggul ditulis unggul. Buruk ditulis buruk.

Hingga sampailah pada fitur Global Positioning System (GPS). Setelah dikulik, ternyata GPS produk terbaru Sony Ericsson itu, tidak lebih baik dari seri sebelumnya. “Kurang user friendly,” tegas Bayu. Ia tuliskan intepretasinya, bahwa GPS produk Sony Ericsson terbaru itu, kurang user friendly.

Tibalah hari saat majalah Area terbit. Setibanya di kantor, Bayu dihampiri Setio Rini, seorang Marketing Manager. Rini marah-marah pada Bayu karena tulisan itu. Nada bicaranya keras.

“Lo tau ga? Gua lagi deketin Sony Ericsson supaya mereka mau masang iklan di cover majalah kita?” kata Bayu meniru ucapan Rini.

“Salah gua di mana? Tunjukin kesalahan gua?”

Perdebatan itu terdengar hingga ke ruangan Reza Puspo, Chief Executive Officer Media Satu. Reza menyuruh keduanya masuk ke ruangan.

Setelah diceritakan duduk perkaranya. Reza berkata demikian:

“Pada dasarnya Bayu ga salah. Cuma, lain kali mesti diperhatikan, kalau menulis yang ada kaitannya sama client yang sedang kita approaching, ya coba dilihat-lihat dulu lah. Jangan sampai menyinggung perasaan mereka. Karena sebagian besar pemasukan kita itu bersumber dari mereka.”

“Kalau disuruh bikin permintaan maaf, gua ga akan mau.” Bayu merasa tidak ada yang salah dengan dirinya.

Bagi Bayu, kepentingan bisnis itu wajar. Media memang sangat bergantung pada pengiklan. Terlebih, Area adalah majalah gratisan. Setiap lembar beritanya harus ditopang oleh satu lembar iklan, begitu kira-kira analogi Bayu. “Kompromi itu penting. Tapi, bukan yang salah jadi benar, dan yang benar jadi salah.”


Firewall
Graphic modified by Aditya Panji Rahmanto

Sejak kejadian itu, para marketing tahu watak Bayu. Ia tidak pernah mau menulis tulisan ‘titipan.’ Sekalipun ia mau menulis, jangan mengharap tulisan yang sifatnya client oriented. Firewall atau pagar api pemisah antara media dan bisnis, ia tanamkan dalam dirinya.

“Ada firewall dalam diri gua sendiri. Biar ga terkontaminasi oleh bisnis.”

Itulah salah satu masalah di majalah gratisan. “Independensinya harus di-push,” kata Bayu. Menurutnya, para marketing di Media Satu, adalah orang yang hebat di bidangnya. Tak heran mereka bisa menembus perusahaan-perusahaan besar. Dan para marketing punya kebiasaan dan budaya yang over laping. Mereka memberi perintah tulisan ‘titipan’ langsung ke reporter. Tidak lewat editor.

“Harusnya, marketing masuk lewat satu pintu, yaitu Editor in Chief. Dialah titik temu antara redaksi dengan marketing.”

Kelompok Media Satu kini memiliki 12 media. 9 diantaranya adalah media korporat. Meliputi: Holcim & Anda, Health First, Heartnews, Music, Shout!, Spirit, Astra, Market+ dan Simpati Zone. Pada media korporat ini, “Intervensi client sangat kuat. Kalo tulisan mo naik, ya harus ada ijin dari client,” ujar Bayu.

Dan ada tiga majalah non korporat, yakni: Top Gear, Juice, dan Area. Top Gear adalah majalah otomotif waralaba dari BBC London, Inggris. Juice adalah media gaya hidup underground, waralaba dari Singapura. Dan Area, satu-satunya bayi kandung Media Satu.

Area sudah memasuki tahun keenam. Bayu berharap Area lebih dewasa dan lebih berani. Ia ingin menunjukan bahwa budaya kritik itu tidak salah. “Lambat laun, Area ini harus ada yang “mulai.” Gua secara pribadi, akan memulai.”

Memulai yang dimaksud Bayu adalah, mulai untuk merubah sistem dan budaya kerja di Area. “Saat ini gua belum punya power untuk merubah suatu sistem. Paling tidak, gua mulai dari diri gua sendiri. Tapi kalo ada orang yang berpandangan sama, ayolah kita gerak bareng.”

Pada 15 Februari 2010, Area membangun portal berita dengan alamat: www.areamagz.com. Mulanya, Area online hanya akan dijadikan pelengkap dari majalah Area itu sendiri.

Tak lama kemudian, Bayu dinobatkan sebagai editor di Area online. Ia tak mau menjadikan Area online hanya sebagai pelengkap, yang beritanya jarang di-update. Ia ingin Area online jadi bisnis utama.

Menurutnya, media online adalah alternatif di masa depan, menggantikan media cetak. Mengingat harga kertas, produksi, dan distribusi yang mahal.

“Di Area online, kita bisa beroperasi tanpa cost. Kita cuma bayar domain. Gua pikir ini celah buat memperkuat independensi.”

Dengan format online, reporter bisa menulis lebih panjang. Tidak terbatas pada tempat. “Bisa lebih variatif dalam hal angle, panjang, dan gaya tulisan, termasuk kritik. Di online, kita lebih berani, lah,” tegas Bayu.

Ia juga berpendapat, cara main di media online berbeda dengan media cetak. “Di media online, orang cenderung loyal terhadap informasi, bukan terhadap brand. Konsekuensinya, kita ga bisa main-main sama informasi. Kita harus buat informasi sebagus mungkin, seakurat mungkin.”

Terlebih, di Area online, semua berita memasang byline (nama penulis) dan foto reporter. “Kalau tulisannya jelek, bisa langsung dicaci. Kalo tulisannya bagus, bisa langsung di puji. Kredibilitas harus dijaga.”

Bagi Bayu, tantangan kerjanya sebagai editor Area online, sangat cocok dengan harapannya sejak kecil. Ia bercita-cita mempunyai profesi yang berguna bagi orang banyak. Lebih kental pada sisi sosialnya.

Wartawan perang, adalah cita-citanya yang belum tercapai. Inilah tujuan utamanya. Semua yang ia senangi bisa didapatkan. Mulai dari petualangan, traveling, kerja sosial, menulis hingga memotret. Semua itu kelak akan ia dapatkan, tentu dengan kerja keras. Karena ia punya prinsip; “Taruhlah cita-citamu setinggi langit. Kalau tidak kesampaian, masih nyangkut di bintang-bintang.”