Wednesday, October 8, 2014

Kehidupan dan Kado Bantal Guitalele


Kang, mukanya lesu banget? "Iya bro', begini lah. Kehidupan," kata seorang teman yang kocak dengan akses khas Sunda.

Setelah melewati hari yang begitu melelahkan, pulang dan tidur-tiduran bersama keluarga menjadi sangat mahal. Untuk sekadar nonton film bareng, bicara remeh-temeh tentang ikan paus di laut jadi sangat bernilai, lebih mahal dari valuasi Apple.

Harus dijalani dengan penuh tanggung jawab. Banyak tantangan di depan sana. Yang baru kita lewati hanya sungai dengan arus tenang, dengan kerikil yang belum menggelincirkan tubuh. Berharap nanti tidak jadi penganut "TGIF."

Mari kita bermimpi dalam tidur pulas. Sampai datang sebuah kado bantal berbentuk guitalele yang sedang diincar dari kekasih. Ini lebih dari sekadar alas tidur. Ini simbol atas sesuatu yang sudah lama tak aku peluk dan tak kuajak bicara. Kamu memang ahli urusan simbol.

Mengangkat si kayu seksi memang hal sepele, tapi selalu didesak oleh waktu dan letih. Saat ini cukup menikmati alunan ketika menyunting saja. Tapi, rasanya daftar lagunya harus diperbarui karena mulai membosankan dan tak memberi semangat.

Perlahan pasti bisa mengikuti arus kecil ini dan terbiasa dengan arus besar di masa depab. Lebih berusaha lagi untuk menjalaninya sambil menikmati alunan "Tonight You Belong to Me" seperti di film klasiknya yang menampilkan adegan bersantai di pantai.

Sunday, December 15, 2013

Kabut Pagi San Francisco

KUPUTUSKAN UNTUK TAK mengenakan jaket, menantang udara pagi musim gugur di San Francisco. 9 September 2013, adalah hari pertamaku di kota tepi teluk itu. Pagi hari jam 7.30, aku sudah keluar dari Hotel Hilton, Union Square. Merokok dan mengamati aktivitas warga setempat.

Banyak mobil melintas, tapi tak ada macet. Trotoar dipenuhi para pejalan kaki yang hendak ngantor. Di sebrang hotel, terlihat antrean panjang para turis yang mau menyewa mobil.

Aku mulai berjalan untuk mencari sarapan. Berdiri di perempatan Jalan O'Farrell, aku merasa ada setitik air menyentuh wajahku.

"Apa ini? Seperti gerimis!" tanyaku dalam hati.

Kulihat awan. Tapi langit hari itu cukup cerah, tak menunjukan tanda-tanda mendung.

O'Farrell Street
Rental mobil di sebrang Hotel Hilton, Union Square, San Francisco
Aku melanjutkan perjalanan mencari restoran, kafe, atau apapun itu, untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. Sepanjang perjalanan, setitik air itu terus menghinggapi kulitku. Kutanya pada orang lokal, dia bilang itu adalah kabut.

Inilah kabut San Francisco yang tersohor itu. Yes, aku merasakannya!

Negara bagian California merupakan salah satu daratan yang paling sering berkabut di dunia. Dan kabut, adalah fenomena cuaca yang umum dan khas di sekitar Teluk San Francisco serta di sepanjang garis pantai California.

Wajahku seperti diciprati air, tapi air dengan volume kecil. Sangat kecil. Dia tidak meninggalkan basah, tapi kulit sebagai indra perasa pasti dapat merasakannya. Keputusan untuk tak mengenakan jaket sepertinya sangat tepat. Karena kulit tanganku juga merasakan kabut-kabut itu.

Di bulan September saat aku berkunjung, angin di kota itu sangat kencang. Tak jarang aku dibuat menggigil. Di antara kabut dan angin kencang itu, matahari bersinar terik. Tapi aku cukup beruntung dengan cuaca macam ini, karena sama sekali tidak turun hujan selama di sana.

Selama di San Francisco, aku sering sekali memutar lagu “Caifornia” yang dipopulerkan Phantom Planet dari iPod Nano-ku. Dan mengapa aku baru menulis pengalaman ini sekarang? Karena, aku baru saja mendengarkan lagu “California” lagi dan tiba-tiba rindu kabut pagi San Francisco.

Berikut beberapa dokumentasi selama di San Francisco. Semua foto dipotret dengan iPhone 4S.

Cable Car, salah satu ikon transportasi San Francisco. USD 6 sekali jalan mengelilingi kota San Francisco

Ngopi dan ngerokok di balkon gedung Moscone West, tempat penyelenggaraan konferensi teknologi Intel Developer Forum 2013

Lalu lintas di sekitar gedung Moscone West

Perjalanan menuju kantor pusat Twitter

Sampai juga di kantor pusat Twitter. Ditempuh dengan berjalan kaki selama 30 menit dari Moscone West

Landscape kota San Francisco dilihat dari Lombard Street

Rumah #horangkayah di Lombard

Menyusuri San Francisco Bay, kebetulan sedang ada kompetisi kapal layar America's Cup 2013. Tahun lalu, CEO Oracle Corporation, Larry Ellison, ikut kompetisi ini bersama Oracle Team USA

Rumah di tepi San Francisco Bay

Menuju Golden Gate Bridge. Narsis tanpa tongsis


Wednesday, November 7, 2012

Mencari: Jiwa yang Retak

Photo credit to strugglesofadolescents.blogspot.com



IBARAT SEBUAH PIRING
yang terjatuh dari ketinggian satu meter. Prrraaang... Itulah aku sekarang. Pecah!


Jarak jatuhnya tidak terlalu tinggi, memang, tapi aku terlanjur pecah. Entah terbagi jadi berapa, yang jelas saat ini aku lebih dari satu.

Butuh waktu cukup panjang untuk mengembalikannya utuh. Sayangnya, aku bukan piring sungguhan yang bisa ditempel oleh lem khusus, ataupun diganti baru. Aku harap bisa menyatukan kembali jiwa yang pecah itu, dan aku butuh kalian.

Apakah kalian tahu bagaimana rasanya terbagi dalam beberapa jiwa? Ini lebih dari sekedar melayang! Ini lebih menyakitkan dibandingkan diterpa ombak! Ini sungguh bikin sakit kepala! 

Cobalah kalian intip, di sini sungguh sepi.

Sepi yang membuatku lupa akan rasa legit buah mangga. Aku lupa gurihnya telur mata sapi buatan ibu. Aku bahkan tak bisa lagi merasakan kekesalan ketika melihat orang yang setiap hari menghabiskan waktu di warung internet untuk main game online.

Kuharap kalian bisa mencari retakan jiwaku, membawanya kepadaku, dan meletakannya di tempat yang benar. Agar aku menjadi seorang berjiwa tunggal.

Thursday, October 18, 2012

Mencari: Kita Berjumpa, Tapi Sadarku Masih Dititip



AKHIRNYA KITA BERJUMPA
lagi, kawan. Apa kabarmu? Maaf, aku sama sekali tak menyapamu. Aku hanya bisa tersenyum dan terdiam menatapi bumi. Aku terlalu pemalu untuk menatap langit.

Jangan kau pandangi aku seperti itu. Aku masih temanmu, namun harus kuakui, agak sulit bagiku untuk mengingat masa lalu. 
Dan ternyata aku sangat lelah mengingat masa lalu. Padahal aku ingin mengajakmu birbincang, sekedar membicarakan rock and roll, ataupun dunia film yang sudah lama tak kuikuti.

Aku rentah. Mengangkat sepotong makanan saja terasa berat. Mengunyah makanan pun aku lambat.

Dalam benakmu pasti penuh pertanyaan, apa yang sedang aku rasakan?


Di lubuk hati yang terdalam sebenarnya aku sedang berusaha mengembalikan sang sadar, melawan sang tenang. Tapi kenapa mereka tidak kembali dengan cepat? Padahal dia adalah hak dasar yang seharusnya jadi milikku selamanya.

Kesal sendiri, aku hanya bisa menggelengkan kepala, mengernyitkan dahi, sampai akhirnya memukul pahaku sendiri sebagai tanda kesal.

Ugghhhh... Ternyata aku belum cukup kuat melawan sang tenang.

Aku lupa menitipkan sadar di mana. Jika ia sudah kembali, aku berjanji tak akan menitipkannya lagi, bahkan ke saudara kandungku sekalipun. Karena hanya dialah yang menyadarkanku tentang aktivitas sehari-hati, mulai dari makan, buang air, sampai menikmati hobiku.

Sekian dulu perjumpaan kita. Maaf jika aku tak memberi salam perpisahan.

Tawuran Dini Hari


BELAKANGAN INI SAYA sering lihat sekelompok pemuda tanggung, mungkin SMP atau SMA, berjalan bergerombol pada dini hari. Saya sering jumpai mereka di akhir pekan selepas jam 12 malam, kadang saya melihat dua sampai tiga gerombolan. Apa yang mereka lakukan di saat semua orang tertidur lelap?

Pada Minggu dini hari, 14 Oktober 2012, saya pulang dari rumah teman pukul 4 pagi. Teman saya tinggal di Rawamangun, Jaktim, dan saya tinggal di Bintara, Bekasi Barat. Saya pulang lewat jalan layang Klender yang di bawahnya tepat adalah Pasar Klender.

Saya tancap gas motor untuk menanjak jembatan layang. Tiba-tiba, saya jumpai sekelompok pemuda tanggung lari-lari di tengah jalan raya. Mungkin jumlah mereka sekitar 15 sampai 20 orang. Jalan yang saya lewati dipenuhi pecahan-pecahan batu.

OMG, ternyata mereka saling menimpuk batu, sambil mengeluarkan kata-kata kasar. Lawan mereka ada di sebrang jalan, juga menimpuki dengan batu.

Mereka tawuran! Tawuran saat dini hari tepatnya. Tawuran gelap gulita.

Saya dan pengendara lain membunyikan klakson kepada dua kelompok yang tawuran ini. Tentu saja, kami bermaksud untuk melerai mereka. Namun, usaha untuk melerai itu kandas setelah saya melihat ada kilauan cahaya dari sebuah benda yang dipegang oleh salah seorang pemuda. Saya yakin itu benda tajam, entah itu pisau atau semacam golok.

Buset! Saya berhenti membunyikan klakson dan langsung tancap gas. Ada rasa takut mereka bertindak di luar kendali. Pikiran saya tertuju ke peristiwa tawuran berdarah di Jakarta bulan September 2012. Pertama, antara SMA 70 dan SMA 6 yang menewaskan 1 siswa. Kedua, antara SMA Yayasan Karya 66 dan SMK Kartika Zenni yang juga menewaskan 1 siswa.

Begitu sudah dekat di rumah, saya kembali melihat segerombol anak yang jalan petantang-petenteng, teriak-teriak sok nguasain jalan, dan bawa benda-benda ga jelas.

Alamak, apa tawuran tengah malam sedang tren? Mendingan tidur deh....

Friday, September 28, 2012

Mencari: Aku Ingin Berjumpa



AKU MERASA MELIHAT orang yang kukenal sedang mencari aku yang hilang. Mereka mencariku di buku yang penuh gambar wajah, di negeri tempat burung berkicau, bahkan ke tumpukan surat. Jelas kalian tak menemukanku, kalian kurang gigih, karena kalian hanya mencariku di dunia tak nyata.


Aku di sini, kawan. Di sebuah perkampungan di Ambon. Aku masih ada dan nyata. Hanya saja, antara sadar dan tenang, enggan mengatakan kepada kalian bahwa aku ada di sini.

Mudah sebetulnya untuk bertemu dengan kalian. Tapi aku masih lelap tertidur dalam sepi, sendiri, dan gelap. Sepertinya sadar mulai menjauhiku. Dan tenang berlebihan menghampiriku.

Seleraku pada rock and roll mulai luntur. Aku tak suka lagi Peterpan.

Tenang... aku merasa tak diganggu hiruk-pikuk kegaduhan dunia yang dahulu selalu membuatku pusing dan sedih. Yang dahulu selalu membuatku marah meledak-ledak, sampai membanting pintu dan memukul tembok yang kokoh.

Aku tahu kalian mencariku, dan kalian sudah mengetahui keberadaanku. Apa yang ingin kalian lakukan? Mengajakku pergi ke masa lalu dengan mesin waktu? Atau sekedar melihat ketenanganku saat ini?

Aku berharap kalian bantu mencari satu per satu sadarku yang pecah. Aku tak bisa memberi tahu ada di mana pecahan itu. Itu tugas kalian sebagai sekelompok orang yang mengaku mengenalku, bahkan menyebutku sebagai sahabat.

Aku berharap bisa terbangun dari ketenangan berlebih ini. Dan... segera tersadar.

Sampai bertemu, sahabat. Aku menanti.

Friday, September 7, 2012

Ada Buaya di Kanal Banjir Timur?



PINGGIR JALAN KANAL Banjir Timur (KBT) telah menjadi rute sehari-hariku jika pergi dan pulang ngantor. Kalau ada sesuatu yang tak beres dengan KBT, aku selalu menyempatkan diri melongok. Karena KBT merupakan kawasan penting untuk mengantisipasi banjir di daerah rumahku.

Pernah sekali waktu ada busa-busa melimpah ga jelas di KBT. Penasaran, aku melambatkan laju motor sepanjang jalan KBT untuk mencari tahu dari mana busa-busa itu berasal. "Siapa nih yang buang limbah di sini?" pikirku.

Ternyata, busa itu berasal dari pintu air KBT di daerah Malaka, Jalan Jenderal Polisi Soekanto, Jakarta Timur. Pintu air itu sedang memproses sesuatu, aku juga ga tau pasti para penjaga pintu air itu lagi ngapain. Yang jelas, air yang tertampung di sana terkocok-kocok hingga menghasilkan busa.

Beberap hari setelah hari Raya Idul Fitri, tepatnya 28 Agustus 2012, jalan di sekitar pintu air KBT agak tersendat. Padahal itu siang hari, sekitar jam 12an, dan Jakarta juga masih sepi karena pemudik belum pada balik.

Sejauh mata memandang kulihat banyak motor yang diparkir di sekitar pintu air. Ada kerumunan warga dan pengendara motor yang berdiri di pinggir KBT. Akupun melipir dan memarkir motor.

"Ada apa, Pak?" tanyaku pada seorang bapak berkumis tebal.

"Ada buaya."

"Waduhhhhhh," aku kaget.


Ini momen seru. Aku keluarkan kedua ponselku. Satu untuk mengetik berita, dan satu lagi untuk memotret. Sembari menunggu penampakkan si buaya, aku iseng memotret suasana rasa ingin tahu orang-orang di sana.

Ada anak SD, ada remaja yang penuh rasa ingin tahu sampai menimpuki air dengan batu, berkali-kali. Ada pula bapak-bapak berpeci yang sok serius nyari-nyari di mana itu buaya. Dia menunjuk sebuah gundukan di air, sambil berkata, "Itu tuh buayanya."

Ada saja orang yang mengiyakan ucapan si bapak berpeci. Orang-orang kemudian menimpuki gundukan itu. Dan nihil, si gundukan itu tak bereaksi karena sepengelihatanku, itu hanyalah tumpukan sampah yang nyangkut. Cape dehhhh...

Cukup lama aku menunggu tanda-tanda si buaya, mungkin sekitar seperempat jam. Sampai akhirnya capek sendiri, aku menghampiri warung yang terletak persis di samping bangunan pintu air, untuk beli minum.

Aku bertanya pada si pemilik warung tentang gosip buaya di KBT.

"Saya sendiri ga tau mas itu gosip dateng dari mana. Saya yang jaga pintu air sini, saya ga pernah liat ada buaya."

"Terus cerita itu datang dari mana," tanyaku.

"Ga tau, namanya gosip cepet aja nyebar. Terus orang-orang percaya dah, sampai bikin macet jalan."

Hahahaha... Setelah menghabiskan minum, aku langsung melanjutkan perjalanan pergi ke kantor.

Keesokan harinya, aku kembali melewati pintu air KBT. Ternyata, masih ada kerumunan orang yang penasaran mau melihat buaya itu.

Di tepi KBT ada dua orang berseragam Pemerintah Daerah yang turun ke tepi aliran air KBT. Mereka ditemani oleh beberapa orang yang memotong rerumputan.

Ada dua kemungkinan tujuan mereka berdiri di tepian KBT. Mencari tahu kebenaran cerita buaya dengan perasaan was-was dan jantung dag-dig-dug. Atau hendak membuktikan kepada warga bahwa tidak ada buaya di pintu air KBT. Selama mereka berdiri di tepian, tak terjadi apa-apa dengan mereka. Kondisi aman terkendali.