Wednesday, November 24, 2010

Pagar Api

Muatan redaksional yang dicampuradukan dengan iklan, merupakan indikasi lemahnya independensi suatu media. Terlebih, untuk media gratisan. Karena ia sangat bergantung pada pengiklan. Karena itu, firewall atau pagar api yang memisahkan redaksi dan bisnis, jadi hal yang prinsipil dalam kerja jurnalisme.

Di Indonesia, dalam satu dekade terakhir, bisnis media cetak gratisan, berkembang pesat. Ini pertanda baik dalam praktik kebebasan pers, sebagaimana telah diatur Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999.

Majalah dwimingguan Area, adalah satu dari sekian banyak majalah gratis di Jabodetabek. Area mulai terbit pada 2004. Bernaung di bawah kelompok Media Satu, yang bermarkas di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Bayu Maitra, salah seorang wartawan Area, bergabung di majalah gaya hidup ini sejak 2006. Karirnya terbilang pesat. Tahun 2007, Bayu resmi bergabung sebagai reporter. Pada 2008, saat berusia 25 tahun, ia sudah jadi Junior Editor.

Pemuda kelahiran 13 juli 1983 ini, kuliah jurusan Hukum di Universitas Padjajaran Bandung angkatan 2003. Bayu mengambil kelas ekstensi. Dengan harapan, kuliahnya bisa dibarengi dengan bekerja. Karena ia harus membantu ekonomi keluarga. “Nyokap gua single parents, dan tidak punya pekerjaan tetap. Adik gua juga masih sekolah.”

Bekerja di Area memaksa Bayu sering bolak-balik Jakarta-Bandung. Kuliahnya pun keteteran. “Waktunya tidak memungkinkan,” katanya.

Tahun 2007, saat menjadi reporter, Bayu ditugaskan membuat tulisan review produk telepon genggam terbaru Sony Ericsson. Saat itu, Sony Ericsson menaruh iklan di Area. Agar tercipta win-win solution, seorang marketing Area berjanji akan membuat tulisan yang isinya me-review produk terbaru Sony Ericsson itu. Dalam jurnalisme, tulisan macam ini sering disebut advertorial atau inforial. Beberapa perusahaan yang pasang iklan di suatu media, biasanya menuntut timbal balik. Salah satunya dengan meminta sebuah tulisan ‘titipan’ tentang produk mereka yang sifatnya persuasif atau propaganda.

Mualilah Bayu me-review produk tersebut. Fitur demi fitur ia jajali, lalu ditulis. Jika unggul ditulis unggul. Buruk ditulis buruk.

Hingga sampailah pada fitur Global Positioning System (GPS). Setelah dikulik, ternyata GPS produk terbaru Sony Ericsson itu, tidak lebih baik dari seri sebelumnya. “Kurang user friendly,” tegas Bayu. Ia tuliskan intepretasinya, bahwa GPS produk Sony Ericsson terbaru itu, kurang user friendly.

Tibalah hari saat majalah Area terbit. Setibanya di kantor, Bayu dihampiri Setio Rini, seorang Marketing Manager. Rini marah-marah pada Bayu karena tulisan itu. Nada bicaranya keras.

“Lo tau ga? Gua lagi deketin Sony Ericsson supaya mereka mau masang iklan di cover majalah kita?” kata Bayu meniru ucapan Rini.

“Salah gua di mana? Tunjukin kesalahan gua?”

Perdebatan itu terdengar hingga ke ruangan Reza Puspo, Chief Executive Officer Media Satu. Reza menyuruh keduanya masuk ke ruangan.

Setelah diceritakan duduk perkaranya. Reza berkata demikian:

“Pada dasarnya Bayu ga salah. Cuma, lain kali mesti diperhatikan, kalau menulis yang ada kaitannya sama client yang sedang kita approaching, ya coba dilihat-lihat dulu lah. Jangan sampai menyinggung perasaan mereka. Karena sebagian besar pemasukan kita itu bersumber dari mereka.”

“Kalau disuruh bikin permintaan maaf, gua ga akan mau.” Bayu merasa tidak ada yang salah dengan dirinya.

Bagi Bayu, kepentingan bisnis itu wajar. Media memang sangat bergantung pada pengiklan. Terlebih, Area adalah majalah gratisan. Setiap lembar beritanya harus ditopang oleh satu lembar iklan, begitu kira-kira analogi Bayu. “Kompromi itu penting. Tapi, bukan yang salah jadi benar, dan yang benar jadi salah.”


Firewall
Graphic modified by Aditya Panji Rahmanto

Sejak kejadian itu, para marketing tahu watak Bayu. Ia tidak pernah mau menulis tulisan ‘titipan.’ Sekalipun ia mau menulis, jangan mengharap tulisan yang sifatnya client oriented. Firewall atau pagar api pemisah antara media dan bisnis, ia tanamkan dalam dirinya.

“Ada firewall dalam diri gua sendiri. Biar ga terkontaminasi oleh bisnis.”

Itulah salah satu masalah di majalah gratisan. “Independensinya harus di-push,” kata Bayu. Menurutnya, para marketing di Media Satu, adalah orang yang hebat di bidangnya. Tak heran mereka bisa menembus perusahaan-perusahaan besar. Dan para marketing punya kebiasaan dan budaya yang over laping. Mereka memberi perintah tulisan ‘titipan’ langsung ke reporter. Tidak lewat editor.

“Harusnya, marketing masuk lewat satu pintu, yaitu Editor in Chief. Dialah titik temu antara redaksi dengan marketing.”

Kelompok Media Satu kini memiliki 12 media. 9 diantaranya adalah media korporat. Meliputi: Holcim & Anda, Health First, Heartnews, Music, Shout!, Spirit, Astra, Market+ dan Simpati Zone. Pada media korporat ini, “Intervensi client sangat kuat. Kalo tulisan mo naik, ya harus ada ijin dari client,” ujar Bayu.

Dan ada tiga majalah non korporat, yakni: Top Gear, Juice, dan Area. Top Gear adalah majalah otomotif waralaba dari BBC London, Inggris. Juice adalah media gaya hidup underground, waralaba dari Singapura. Dan Area, satu-satunya bayi kandung Media Satu.

Area sudah memasuki tahun keenam. Bayu berharap Area lebih dewasa dan lebih berani. Ia ingin menunjukan bahwa budaya kritik itu tidak salah. “Lambat laun, Area ini harus ada yang “mulai.” Gua secara pribadi, akan memulai.”

Memulai yang dimaksud Bayu adalah, mulai untuk merubah sistem dan budaya kerja di Area. “Saat ini gua belum punya power untuk merubah suatu sistem. Paling tidak, gua mulai dari diri gua sendiri. Tapi kalo ada orang yang berpandangan sama, ayolah kita gerak bareng.”

Pada 15 Februari 2010, Area membangun portal berita dengan alamat: www.areamagz.com. Mulanya, Area online hanya akan dijadikan pelengkap dari majalah Area itu sendiri.

Tak lama kemudian, Bayu dinobatkan sebagai editor di Area online. Ia tak mau menjadikan Area online hanya sebagai pelengkap, yang beritanya jarang di-update. Ia ingin Area online jadi bisnis utama.

Menurutnya, media online adalah alternatif di masa depan, menggantikan media cetak. Mengingat harga kertas, produksi, dan distribusi yang mahal.

“Di Area online, kita bisa beroperasi tanpa cost. Kita cuma bayar domain. Gua pikir ini celah buat memperkuat independensi.”

Dengan format online, reporter bisa menulis lebih panjang. Tidak terbatas pada tempat. “Bisa lebih variatif dalam hal angle, panjang, dan gaya tulisan, termasuk kritik. Di online, kita lebih berani, lah,” tegas Bayu.

Ia juga berpendapat, cara main di media online berbeda dengan media cetak. “Di media online, orang cenderung loyal terhadap informasi, bukan terhadap brand. Konsekuensinya, kita ga bisa main-main sama informasi. Kita harus buat informasi sebagus mungkin, seakurat mungkin.”

Terlebih, di Area online, semua berita memasang byline (nama penulis) dan foto reporter. “Kalau tulisannya jelek, bisa langsung dicaci. Kalo tulisannya bagus, bisa langsung di puji. Kredibilitas harus dijaga.”

Bagi Bayu, tantangan kerjanya sebagai editor Area online, sangat cocok dengan harapannya sejak kecil. Ia bercita-cita mempunyai profesi yang berguna bagi orang banyak. Lebih kental pada sisi sosialnya.

Wartawan perang, adalah cita-citanya yang belum tercapai. Inilah tujuan utamanya. Semua yang ia senangi bisa didapatkan. Mulai dari petualangan, traveling, kerja sosial, menulis hingga memotret. Semua itu kelak akan ia dapatkan, tentu dengan kerja keras. Karena ia punya prinsip; “Taruhlah cita-citamu setinggi langit. Kalau tidak kesampaian, masih nyangkut di bintang-bintang.”

No comments:

Post a Comment