Thursday, October 18, 2012

Tawuran Dini Hari


BELAKANGAN INI SAYA sering lihat sekelompok pemuda tanggung, mungkin SMP atau SMA, berjalan bergerombol pada dini hari. Saya sering jumpai mereka di akhir pekan selepas jam 12 malam, kadang saya melihat dua sampai tiga gerombolan. Apa yang mereka lakukan di saat semua orang tertidur lelap?

Pada Minggu dini hari, 14 Oktober 2012, saya pulang dari rumah teman pukul 4 pagi. Teman saya tinggal di Rawamangun, Jaktim, dan saya tinggal di Bintara, Bekasi Barat. Saya pulang lewat jalan layang Klender yang di bawahnya tepat adalah Pasar Klender.

Saya tancap gas motor untuk menanjak jembatan layang. Tiba-tiba, saya jumpai sekelompok pemuda tanggung lari-lari di tengah jalan raya. Mungkin jumlah mereka sekitar 15 sampai 20 orang. Jalan yang saya lewati dipenuhi pecahan-pecahan batu.

OMG, ternyata mereka saling menimpuk batu, sambil mengeluarkan kata-kata kasar. Lawan mereka ada di sebrang jalan, juga menimpuki dengan batu.

Mereka tawuran! Tawuran saat dini hari tepatnya. Tawuran gelap gulita.

Saya dan pengendara lain membunyikan klakson kepada dua kelompok yang tawuran ini. Tentu saja, kami bermaksud untuk melerai mereka. Namun, usaha untuk melerai itu kandas setelah saya melihat ada kilauan cahaya dari sebuah benda yang dipegang oleh salah seorang pemuda. Saya yakin itu benda tajam, entah itu pisau atau semacam golok.

Buset! Saya berhenti membunyikan klakson dan langsung tancap gas. Ada rasa takut mereka bertindak di luar kendali. Pikiran saya tertuju ke peristiwa tawuran berdarah di Jakarta bulan September 2012. Pertama, antara SMA 70 dan SMA 6 yang menewaskan 1 siswa. Kedua, antara SMA Yayasan Karya 66 dan SMK Kartika Zenni yang juga menewaskan 1 siswa.

Begitu sudah dekat di rumah, saya kembali melihat segerombol anak yang jalan petantang-petenteng, teriak-teriak sok nguasain jalan, dan bawa benda-benda ga jelas.

Alamak, apa tawuran tengah malam sedang tren? Mendingan tidur deh....

Friday, September 28, 2012

Mencari: Aku Ingin Berjumpa



AKU MERASA MELIHAT orang yang kukenal sedang mencari aku yang hilang. Mereka mencariku di buku yang penuh gambar wajah, di negeri tempat burung berkicau, bahkan ke tumpukan surat. Jelas kalian tak menemukanku, kalian kurang gigih, karena kalian hanya mencariku di dunia tak nyata.


Aku di sini, kawan. Di sebuah perkampungan di Ambon. Aku masih ada dan nyata. Hanya saja, antara sadar dan tenang, enggan mengatakan kepada kalian bahwa aku ada di sini.

Mudah sebetulnya untuk bertemu dengan kalian. Tapi aku masih lelap tertidur dalam sepi, sendiri, dan gelap. Sepertinya sadar mulai menjauhiku. Dan tenang berlebihan menghampiriku.

Seleraku pada rock and roll mulai luntur. Aku tak suka lagi Peterpan.

Tenang... aku merasa tak diganggu hiruk-pikuk kegaduhan dunia yang dahulu selalu membuatku pusing dan sedih. Yang dahulu selalu membuatku marah meledak-ledak, sampai membanting pintu dan memukul tembok yang kokoh.

Aku tahu kalian mencariku, dan kalian sudah mengetahui keberadaanku. Apa yang ingin kalian lakukan? Mengajakku pergi ke masa lalu dengan mesin waktu? Atau sekedar melihat ketenanganku saat ini?

Aku berharap kalian bantu mencari satu per satu sadarku yang pecah. Aku tak bisa memberi tahu ada di mana pecahan itu. Itu tugas kalian sebagai sekelompok orang yang mengaku mengenalku, bahkan menyebutku sebagai sahabat.

Aku berharap bisa terbangun dari ketenangan berlebih ini. Dan... segera tersadar.

Sampai bertemu, sahabat. Aku menanti.

Friday, September 7, 2012

Ada Buaya di Kanal Banjir Timur?



PINGGIR JALAN KANAL Banjir Timur (KBT) telah menjadi rute sehari-hariku jika pergi dan pulang ngantor. Kalau ada sesuatu yang tak beres dengan KBT, aku selalu menyempatkan diri melongok. Karena KBT merupakan kawasan penting untuk mengantisipasi banjir di daerah rumahku.

Pernah sekali waktu ada busa-busa melimpah ga jelas di KBT. Penasaran, aku melambatkan laju motor sepanjang jalan KBT untuk mencari tahu dari mana busa-busa itu berasal. "Siapa nih yang buang limbah di sini?" pikirku.

Ternyata, busa itu berasal dari pintu air KBT di daerah Malaka, Jalan Jenderal Polisi Soekanto, Jakarta Timur. Pintu air itu sedang memproses sesuatu, aku juga ga tau pasti para penjaga pintu air itu lagi ngapain. Yang jelas, air yang tertampung di sana terkocok-kocok hingga menghasilkan busa.

Beberap hari setelah hari Raya Idul Fitri, tepatnya 28 Agustus 2012, jalan di sekitar pintu air KBT agak tersendat. Padahal itu siang hari, sekitar jam 12an, dan Jakarta juga masih sepi karena pemudik belum pada balik.

Sejauh mata memandang kulihat banyak motor yang diparkir di sekitar pintu air. Ada kerumunan warga dan pengendara motor yang berdiri di pinggir KBT. Akupun melipir dan memarkir motor.

"Ada apa, Pak?" tanyaku pada seorang bapak berkumis tebal.

"Ada buaya."

"Waduhhhhhh," aku kaget.


Ini momen seru. Aku keluarkan kedua ponselku. Satu untuk mengetik berita, dan satu lagi untuk memotret. Sembari menunggu penampakkan si buaya, aku iseng memotret suasana rasa ingin tahu orang-orang di sana.

Ada anak SD, ada remaja yang penuh rasa ingin tahu sampai menimpuki air dengan batu, berkali-kali. Ada pula bapak-bapak berpeci yang sok serius nyari-nyari di mana itu buaya. Dia menunjuk sebuah gundukan di air, sambil berkata, "Itu tuh buayanya."

Ada saja orang yang mengiyakan ucapan si bapak berpeci. Orang-orang kemudian menimpuki gundukan itu. Dan nihil, si gundukan itu tak bereaksi karena sepengelihatanku, itu hanyalah tumpukan sampah yang nyangkut. Cape dehhhh...

Cukup lama aku menunggu tanda-tanda si buaya, mungkin sekitar seperempat jam. Sampai akhirnya capek sendiri, aku menghampiri warung yang terletak persis di samping bangunan pintu air, untuk beli minum.

Aku bertanya pada si pemilik warung tentang gosip buaya di KBT.

"Saya sendiri ga tau mas itu gosip dateng dari mana. Saya yang jaga pintu air sini, saya ga pernah liat ada buaya."

"Terus cerita itu datang dari mana," tanyaku.

"Ga tau, namanya gosip cepet aja nyebar. Terus orang-orang percaya dah, sampai bikin macet jalan."

Hahahaha... Setelah menghabiskan minum, aku langsung melanjutkan perjalanan pergi ke kantor.

Keesokan harinya, aku kembali melewati pintu air KBT. Ternyata, masih ada kerumunan orang yang penasaran mau melihat buaya itu.

Di tepi KBT ada dua orang berseragam Pemerintah Daerah yang turun ke tepi aliran air KBT. Mereka ditemani oleh beberapa orang yang memotong rerumputan.

Ada dua kemungkinan tujuan mereka berdiri di tepian KBT. Mencari tahu kebenaran cerita buaya dengan perasaan was-was dan jantung dag-dig-dug. Atau hendak membuktikan kepada warga bahwa tidak ada buaya di pintu air KBT. Selama mereka berdiri di tepian, tak terjadi apa-apa dengan mereka. Kondisi aman terkendali.


Thursday, April 26, 2012

Kreativitas Sedot WC


SAYA SELALU MENUTUP mata lalu menoleh untuk memandang objek lain, setiap kali melihat stiker Sedot WC. Ahhh... itu buruk sekali.


Stiker promosi sedot WC selalu dibuat seperti itu, tak ada bedanya dari generasi ke generasi. Satu warna. Kotak. Dan hanya meninggalkan nomor telepon. Mereka tidak memasang  tagline. Tidak ada iming-iming layaknya sebuah bisnis "serius."


Terjebak dalam sebuah kultur yang entah dibentuk oleh apa dan siapa. Padahal mereka punya kebebasan untuk membuat stiker yang lebih sedap dipandang. Atau mungkin menggunakan baliho sebagai media penyampaian pesan.


Ibarat manusia, stiker sedot WC adalah orang yang terjebak dalam rutinitas.


Dia selalu black and white, tidak berwarna. Dia tidak mau berubah bentuk, selalu kotak. Dia tidak memberi kesan, hanya meninggalkan nomor telepon yang jika dihubungi baru datang.


Sungguh tidak kreatif.


Sejak dulu saya selalu mengeletek stiker sedot WC yang menempel di pagar, pot tanaman, atau tiang listrik di sekitar rumah. Jika tak ditegur, dia akan tetap bertahan hingga usang dan akhirnya mengotori lingkungan.


Saya tak mau seperti stiker sedot WC!


Kredit: NabilaFz - Flickr.com http://www.flickr.com/photos/nabilafz/4105448559/sizes/z/in/photostream/
Kredit: NabilaFz - Flickr.com

Wednesday, September 14, 2011

Sandal Jepit dan Celana Pendek Dilarang Melintasi Jalan Raya

Selama ini saya tak pernah dengar pengalaman siapapun yang ditilang karena mengenakan sandal dan celana pendek saat mengendarai sepeda motor. Namun, beberapa hari lalu, saya dapat cerita dari teman yang ditilang karena sandal dan celana pendek.

Namanya Putro Utomo. Saat itu ia hendak menjemput anggota keluarga di daerah Fatmawati, Jakarta Selatan. Di tengah perjalanan, ia lihat beberapa sepeda motor menepi ke sisi kiri jalan yang diberhentikan petugas berseragam cokelat dan mengenakan rompi hijau stabilo. Ia tahu di depan sana ada razia. Dengan pede, ia hampiri Pak Polisi, karena merasa semua syarat berkendara telah dipenuhi. Helm SNI ngeklik melindungi kepalanya. Ia perlihatkan SIM dan STNK.

Tak selesai sampai di situ, ternyata Pak Polisi mempermasalahkan sandal jepit dan celana pendek yang ia kenakan. Putro membela diri dengan alasan terburu-buru.

Pak Polisi itu pun menyanggah. “Kalo kamu kecelakaan, setidaknya celana panjang dan sepatu bisa melindungi kaki, meminimalisir luka,” tegas si Polisi, yang menekankan pada safety riding.

Putro yang tidak membawa cukup uang untuk “bernegosiasi,” pasrah untuk selanjutnya diberi surat tilang. Ia harus menjalani sidang beberapa hari kemudian untuk mengambil kembali SIM-nya.

Lucu, dan saya sempat tak percaya. Ada juga polisi yang menilang karena pengemudi mengenakan sandal dan celana pendek. Pasalnya, Kepolisian terlihat setengah hati menyosialisasikan larangan mengenakan sandal dan celana pendek itu. Berpuluh-puluh kali saya dirazia, polisi hanya menanyakan SIM dan STNK. Sesekali pernah tas dan bagasi motor digeledah, karena sedang digelar razia narkoba atau senjata tajam. Tak pernah sekalipun saya dihimbau untuk mengenakan celana panjang dan sepatu.

Saya sendiri selalu mengenakan celana panjang dan sepatu saat berkendara jarak jauh. Ada rasa tidak nyaman jika mengenakan sandal dan celana pendek. Kebetulan, saya punya kebiasaan selalu menutup rapat anggota tubuh saat mengemudi. Lebih baik bermandi keringat sendiri, dari pada bermandi asap knalpot, sekalipun itu hanya mengenai bagian kaki.

Apa yang dikatakan Pak Polisi kepada Putro ada benarnya. Celana panjang dan sepatu bisa meminimalisir luka, jika kecelakaan menimpa diri. Namun seharusnya Kepolisian juga menyosialisasikan larangan sandal dan celana pendek ini dengan gencar, dan berkelanjutan. Mengingat jumlah pengendara motor yang terus meningkat. Sosialisasi bisa dilakukan dengan Iklan Layanan Masyarakat di media massa.

Atau, Kepolisian bisa memasang rambu khusus di jalan raya. Rambunya bergambar sandal jepit dan celana pendek dicoret, yang artinya: Sandal Jepit dan Celana Pendek Dilarang Melintas. Kalo gambar ini ada, mungkin lucu juga.

posted from Bloggeroid

Published with Blogger-droid v1.7.4

Tuesday, August 2, 2011

Videographer Idolaku Telah Tiada

Berawal dari rasa kagum atas sebuah video dokumenter tentang badai salju yang menyelimuti 68% wilayah Amerika Serikat, pada akhir 2009 dan awal 2010. Saya menonton video itu di YouTube. Saya suka semua unsur sinematografi video itu. Terlebih unsur storytelling, yang bagi saya, menjadi kunci keberhasilan karya dokumenter.

Saya mencari nama si videographer dalam jejaring sosial Facebook, lalu mengajukan permintaan pertemanan kepadanya.  Saya baca sedikit informasi tentang dirinya. Ia orang Indonesia yang bekerja di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat. Kulitnya sawo matang. Rambut lurus belah tengah. Berkumis tipis. Wajah bulat dihiasi kacamata ouval. Ia selalu memasang senyum kecil setiap kali difoto. Saat itu, ia memajang fotonya bersama sang istri sebagai profile picture.

Tak selang satu jam, ia menerima saya sebagai teman. Kami berteman sejak November 2010. Mutual friends di antara kami adalah Andreas Harsono, Budi Setiyono, Coen Husain Pontoh, Wahyu Muryadi, dan Toriq Hadad. Mungkin, mutual friends inilah yang membuat ia menerima permintaan pertemanan dari saya.

Entah siapa sebenarnya si videographer ini, saya tak kenal. Kami tak pernah berjumpa. Saya tak pernah mendengar suaranya. Saya tak tahu bagaimana cara ia bicara. Cara ia berjalan. Tapi, saya kagum atas kejeliannya menggarap video dokumenter "Strom: A Winter We Never Forget." Ia merekam, mengumpulkan 49 footage dari para YouTubers, menyunting, dan mencari narator. Konten video itu kurang lebih berdurasi 11 menit, ditambah credit title 3 menit. Di YouTube, video itu dipecah menjadi 2 bagian (Part 1 dan Part 2)

Sekali lagi, saya mengagumi karyanya. Bagi saya, ia videographer dan penulis naskah yang hebat.

Jauh di nyata, dekat di maya. Saya sering jadi tamu tak diundang, main ke ruang tamu Facebook-nya. Mengecek jikalau ada karya video terbaru yang ia posting di wall. Ingin rasanya menanyakan tips dan trik membuat video dokumenter. Terlebih soal storytelling. Namun keberanian untuk bertanya itu belum ada. Alhasil, setiap kali berkunjung, saya hanya menyimak status-statusnya, yang selalu bernuansa cinta dan kehidupan.

Saya merekomendasikan video itu ke beberapa teman. Teman dekat saya, Sarah Ghariza, sempat mempublikasi video tersebut di Facebook. Ia juga mengungkapkan kekagumannya.

Februari 2011, sejak lulus kuliah dan mulai bekerja di salah satu media massa, saya tak pernah lagi mengunjungi ruang tamu Facebook-nya.

Hingga pada 1 Agustus 2011, Andreas Harsono, guru menulis saya di Yayasan Pantau, yang juga berteman dengan sang videographer, menulis kabar duka lewat statusnya.

“Berita duka. Kontributor Pantau, Anthony B. Tejamulya, yang selama bbrp tahun terakhir bekerja di Philadelphia, meninggal dunia dalam perjalanan pesawat terbang Philadelphia-Jakarta. Dia meninggalkan isteri dan dua anak remaja. May he rests in peace.”

Sempat tak percaya. Anthony B. Tejamulya, sang videographer yang saya kagumi telah berpulang. Saya mengecek akun Facebook-nya. Benar saja, banyak ucapan berduka di sana. Anthony akrab disapa Bakti, Teja, ataupun Tejo. Ia meninggal 29 Mei 2011 di pesawat dalam perjalanan pulang dari Amerika Serikat ke Jakarta. Berarti, hampir 2 bulan saya ketinggalan kabar ini.


Pesan dari Nur Fatimah Djie di wall Anthony, 22 Maret 2011



















Di wall Anthony, Nur Fatimah Djie sempat menanyakan kabar, pada 22 Maret 2011, jauh hari sebelum Anthony meninggal. “Bakti Tejamulya...kmanakah dirimu???kok ngga tau muncul lagi??!!!!!!”

“Memei, aku di sini kok. Ntar ya, kalau nggak sibuk, aku muncul lagi,” jawab Anthony, 2 hari kemudian.

Nur Fatimah yang oleh Anthony dipanggil Memei, kembali mengomentari, “Okelah kalo begitu tejo,smoga sukses ya.....salam untk kluarga.”

29 Juni, sebulan setelah Anthony tiada, Nur Fatimah melanjutkan thread status comment di atas. “Ahhh Tejo ternyata ini trakhir kita bersua setelah sekian lama tak bertemu...disaat waktu inipun sebenarnya sakitmu sudah ada,,,tapi masih saja tejo bisa menyenangkan teman2nya....itulah TEJO yang manis dan tegarrrrrr.......”

Agata C. Bakti, istri Anthony, membalas comment Nur Fatimah. “Waktu Bakti posting comment di atas, kondisinya masih sehat kok, Mei. Tp memang sebenarnya penyakit itu dah bersarang di tubuhnya. Kondisinya mulai menurun yaitu sejak 23 Mei. Itu pun gak parah-parah amat. Masih termasuk segar. Makanya, kejadian di pesawat itu sangat membuatku kaget n gak percaya sama sekali. Tapi sekarang Bakti dah nyaman dan bahagia dalam kehidupan yg abadi di rumah Bapa.”

Agata juga membalas ucapan duka dari teman-teman Anthony yang lainnya, salah satunya Retty Nereng. Dari comment Agata kepada Retty, saya menangkap cerita menarik di balik akun Facebook Anthony, yang sejak Maret lalu telah ditutup, namun sebulan setelah kematian Anthony, akun itu aktif kembali.

“Retty Nereng : Ini memang aneh, Retty. Setahuku, sekitar awal Maret, Bakti dah menutup A/C fb-nya. Sampai saat terakhir kami masih aktif memakai komputer (+inet) di Phila, yaitu tgl. 26 Mei malam waktu Phila. Sesudah itu, komputer n laptop dah di-packing. Kami gak pernah membukanya lagi. 28 Mei pagi, kami dah ke airport di NY. 29 Mei, Bakti meninggal. Jadi, A/C fb Bakti ini aktif lagi sesudah kepergiannya ke rumah Bapa. Aneh bin ajaib 'kan? Aku baru tahu bahwa fb ini aktif, yaitu 29 Juni sewaktu mau posting statusku. Waktu itu juga Bagas yg jeli, sehingga ngeh bhw fb papanya aktif lagi.”


Pesan dari Retty Nereng di wall Anthony, 9 Juli 2011



















Hingga kini, Agata dan kedua anaknya tidak tahu siapa yang mengaktifkan kembali Facebook Anthony. Mereka tidak bisa mengakses karena tidak mengetahui password.

Apapun cerita di balik akun Facebook Anthony, dahulu saya sering jadi tamu tak diundang di rumah mayanya. Saya selalu mengingat senyum kecil itu. Kumis tipis. Dan kacamata ouvalnya. Kini, yang terpampang di wall hanya ucapan duka. Selamat jalan. Semoga tenang di sisi Tuhan. Dan sebagainya. Status bernuansa cinta dan kehidupan yang tiap hari ditulis Anthony, telah tiada. Entah sampai kapan akun Facebook-nya bakal aktif, dan masih dikunjungi para sahabat dan kerabat.

Saya tak tahu ia sakit apa. Saya tak sempat memverifikasi karena tak kenal dengan keluarganya. Jika tahu ia sedang sakit, setidaknya saya akan menulis “Semoga lekas sembuh” di wall-nya. Saya tak sempat memenuhi adab pertemanan itu. Melalui tulisan ini, saya doakan semoga Pak Anthony tenang di sisi Tuhan. Dan keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran. Amin.

Sejak pertama kali menonton “Storm: A Winter We Never Forget,” dokumenter ini telah masuk daftar video favorit saya. Namun kini, setiap kali menontonnya, ada rasa kosong di hati saya. Dan, ada penyesalan dalam diri. Saya tak sempat menanyakan bagaimana menyusun storytelling video dokumenter sehebat itu?

Selamat jalan Pak Anthony...

Akun Facebook Anthony B. Tejamulya