Friday, December 10, 2010

Belajar dari Seorang Perancis, Robin Dutheil

Bertepatan dengan hari anti korupsi sedunia, 9 Desember 2010, saya ikut teman ke sebuah rumah kos di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, dekat gedung Sampoerna Strategic. Saya berangkat bersama Joko Prayitno, Sarah Ghariza, dan Tya Gita Kirana. Tujuannya, bertemu seorang bule. Tiga teman saya itu hendak mewawancarai bule, untuk tugas akhir mata kuliah Bahasa Inggris 3.

Sesampainya di rumah kos, jam 7 malam, bule yang dimaksud belum tiba. “Mereka masih di jalan. Sebentar lagi sampe ko,” ujar Gita. Gita sudah kenal sebelumnya dengan salah seorang bule itu.

Tak lama datanglah dua bule. “Hallo, selamat malam.” Dengan sahaja mereka memperkenalkan diri.

“Hallo, aku Robin. Ini teman saya, Jonas,” Robin memperkenalkan temannya. Jonas pun memperkenalkan dirinya kepada saya. “I’m Jonas.”

“Hallo, I’m Adit.”

Lidah Jonas keserimpet menyebut nama saya. “Adi,” ujarnya.

“No, Adit. A. D. I. T. Use ‘t’,” tegas saya.

Lagi-lagi lidahnya masih keserimpet, “Adi … Adi.” Saya geli sendiri mendengarnya. Hingga akhirnya Jonas hampir benar menyebut nama saya.

Saya pikir usia mereka mendekati 30. Ternyata salah, Robin berusia 25, dan Jonas 23, sepantaran dengan saya. Sulit bagi saya memprediksi usia bule. Mungkin karena terbiasa menilai usia orang sekitar berdasarkan sikap, raut wajah, dan gaya bicara.

Dua turis asal Paris ini, habis jalan-jalan keliling Jakarta. Robin mengenakan kemeja cokelat, celana jeans dan sandal. Bagian pundak kemejanya berkeringat, ceplakan tas ransel. Posturnya tidak tinggi, sekitar 165 cm. Cukup kecil untuk ukuran orang Eropa. Sementara Jonas, berpostur tinggi besar. Saya sampai melonga saat bicara dengannya. Gaya Jonas seperti ABG pada umunya, ia kenakan kaos putih bermotif ceria, celana jeans dan sweater hitam.

They are my new friends, Robin Dutheil and Jonas Clement. They came from Paris, France. They so funny, friendly, and earthy. I share the culture with them.

Robin baru setahun tinggal di Kuningan, tapi bahasa Indonesianya sudah lancar. Sementara Jonas, baru hitungan minggu berada di Indonesia. Ia baru bisa ngomong bahasa Indonesia pengantar, macam; selamat pagi, terima kasih, dan capek.

Kami naik ke lantai dua. Robin dan Jonas menyewa kamar kos di blok F, nomor 1. Sambil menunggu Jonas mandi menyegarkan diri, Robin ajak kami ngobrol di depan kamar. Kami duduk di lantai. Robin lah promotornya. “Saya suka duduk di lantai.” Padahal, ada kursi panjang yang muat diduduki sampai 10 orang. Pembicaraan sangat seru, menyenangkan, tidak garing. Robin bercerita pengalamannya di Indonesia. Ia mengajar bahasa Perancis di Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Bintaro. Ia juga bekerja sebagai web designer, animator, dan pembuat game. Segalanya tentang Robin bisa dilihat di web pribadinya; www.rabou.eu/. Web ini sangat elegan dan futuristik.

Saya kagum dengan Robin, ia bicara bahasa Indonesia dengan lancar. Seperti sedang bicara dengan orang Indonesia. Saya iseng tanyakan apa rahasianya agar bisa dengan cepat berbahasa Indonesia.

Robin menjawab, “Hiduplah sendiri, tanpa teman dari negara asal kamu. Dengan begitu, kamu akan cepat mempelajari suatu bahasa.”

Saya terkejut dengan jawaban Robin. Ini seperti pepatah; sambil menyelam minum air. Sambil bekerja, belajar bahasa. Teman saya, Joko, terkesima dengan jawaban Robin. Pernyataan itu sangat mengena di hatinya. “Gua suka jawaban itu.” Joko seorang perantau dari Padang yang mengemban pendidikan di Jakarta.

Robin bercerita tentang temannya yang sudah 4 tahun tinggal di Indonesia, tapi hanya bisa bicara; selamat pagi, selamat siang, selamat malam, dan terima kasih. Itu karena dia tidak membiasakan berbahasa Indonesia. Di lingkungan kerja, ia selalu bicara bahasa Inggris dan Perancis. Intinya, harus practice, practice, and practice!

Robin meramalkan Jonas tak akan cepat berbahasa Indonesia. Karena dia tinggal bersama Robin, teman dekatnya. Sejak Jonas tiba di Jakarta, Robin jadi pemandu wisata, yang memberi pengertian dengan bahasa Perancis. Di kamarpun, mereka gunakan bahasa Perancis atau Inggris. Jonas jarang berbahasa Indonesia. Jika Jonas bingung dengan arti bahasa Indonesia, Robin jadi penerjemah. Jonas tak menemukan kemandirian berbahasa yang sejati, begitu kira-kira analoginya.

Jonas selesai mandi, kini giliran Robin menyegarkan diri. Jonas keluar kamar dengan kaos lengan buntung dan celana pendek. Ia ikuti jejak Robin, dengan duduk di lantai. Ia kembali mengingat nama kami. Disebutnya satu per satu. Lagi-lagi Jonas keserimpet menyebut nama saya. “Adi.”. Huruf ‘t’ di belakang nama saya ketinggalan. Hahahaha.

Pembicaraan dengan Jonas tak kalah seru. He’s so funny, sekaligus iseng. Berkali-kali ia isengi Gita. Sarah juga tak luput dari keisengan Jonas.

Saat Sarah mengeluarkan handycam, Jonas berucap, “that’s so beautiful.”

Sambil tersenyum Sarah menjawab, “Thank you, Jonas.”

“No… no… no…. Not you. But that’s handycam.”

Kami tertawa dengan guyonan Jonas. “Becandaan kayak gitu juga ada di Eropa, ya?” ujar saya.

Tak lama Robin keluar, dengan kaos hitam yang dimasukan ke celana jeans. Ia dengar kami bicara dengan Jonas menggunakan bahasa Inggris. “Oke, kita gunakan bahasa Inggris,” tantang Robin. Tiap kali di antara kami ada yang berbahasa Indonesia, Robin dan Jonas langsung memotong, “Come on, English please. Practice! Practice!” Mereka ajak kami untuk berani berbahasa Inggris. Salah tak masalah, yang penting nekad.

Jonas dan Robin sudah menyegarkan diri, mereka ajak kami mempersingkat waktu. “We can start the interview? Want to outside or inside the room?” Kami pilih di kamar. Agar dapat meminimalisir noise jalan raya dan angin.

Robin and Jonas in Bali
Di dalam kamar, ada peta Indonesia, Sulawesi, dan Jabodetabek. Robin pernah berwisata ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Wow, dia sudah keliling Indonesia. Dan sepertinya ia memang jatuh cinta dengan Indonesia, terutama Toraja dan Bali.

Robin dan Jonas, keduanya menggunakan MacBook Pro. Robin beli di Indonesia, Jonas beli di Paris. Saya baru tahu, Perancis punya standar sendiri menentukan tata letak tombol pada keypad handphone atau keyboard komputer.

Indonesia, dan kebanyakan negara di dunia, menggunakan standar tata letak QWERTY. Nama itu diambil berdasarkan urutan alfabet Q, W, E, R, T, dan Y, yang berada di baris paling atas pada keyboard. Tata letak QWERTY ini pertama kali digunakan pada mesin tik buatan E. Remington pada 1874.

Perancis dan Belgia lain sendiri, mereka gunakan tata letak AZERTY. Jadi, baris paling atas pada keyboard-nya adalah A, Z, E, R, T, dan Y. Tombol-tombol yang bertukar antara lain; A bertukar dengan Q. Z dengan W. M pindah ke sebelah kanan L, menggantikan posisi tombol titik dua/titik koma. Dalam format AZERTY, ada beberapa tombol tambahan guna mendukung aksen bahasa Perancis, seperti é, à dan ô, serta beberapa simbol-simbol lain seperti œ, yang tidak ada dalam bahasa Inggris. Saya pun tak mengerti cara mengoperasikannya, karena tak bisa berbahasa Perancis. Hehehe.

Hal lain yang menarik perhatian saya dari isi kamar Robin, ada tumpukan bumbu dan rempah-rempah khas Indonesia. Robin dan Jonas membelinya di pasar tradisional untuk dikirim ke seorang rekan di Perancis, yang hendak memasak masakan Padang.

Robin Shopping in traditional market

Rasanya sudah cukup saya memperhatikan isi kamar Robin. Kembali lagi ke tujuan utama, mewawancarai seorang bule. Robin melihat daftar pertanyaan. Ia mengoreksi tata bahasa yang salah, dan menerangkan dengan jelas bagaimana yang benar. Saya menilai ia orang yang perhatian dan peduli.

Kami sudah memutuskan untuk merekam wawancara di kamar kos Robin. Tapi, kamarnya tidak terlalu besar. Sudah penuh dengan spring bed ukuran nomor 2, meja televisi, kulkas, dan lemari pakaian yang cukup besar. Ini menyulitkan saya selaku juru kamera dalam menentukan angle yang sedap dipandang. Akhirnya, kami pilih posisi duduk bersila di lantai dengan nuansa santai dan bersahabat.

Sarah dan Joko jadi satu kelompok. Mereka pilih Robin sebagai narasumber. Culture shock jadi tema besar. Sarah dan Joko juga menanyakan tentang pop culture, yang belakangan ini banyak dianut remaja Indonesiasalah satunya video lipsing Keong Racun ala Sinta dan Jojo. Robin tahu video itu. Dia menyanyikan bait awal lagu Keong Racun.

“Dasar kau Keong Racun. Baru kenal udah ngajak tidur,” sambil meniru aksi Sinta – Jojo yang menaik-turunkan jari telunjuknya.

Dalam wawancara itu, Robin berkata ia adalah orang yang lapar kebudayaan. Indonesia beruntung punya beragam kebudayaan. “Rainbow culture,” begitu istilah yang diberikan Robin. Di Perancis dan negara Eropa lainnya, tak punya kebudayaan beragam seperti Indonesia. Lapar kebudayaan Robin, bisa dilihat dari selera musiknya. Musik yang dimainkan dari MacBook-nya kebanyakan berjenis etnik instrumen. Ada yang dari Jepang, Cina, Hongkong, hingga Afrika. Kalau dari Indonesia, ia suka lagu-lagu Batik Tribe, grup musik yang memadukan hip-hop dengan ensemble musik tradisional, seperti gamelan, kolintang, suling, dan bonang.

Sampailah pertanyaan pada apa yang dibenci Robin dari Indonesia? Dengan pede ia menjawab, “politic.” Menurut Robin, banyak politikus Indonesia yang mementingkan diri sendiri, makan hak orang kecil. Kurangnya kesadaran inilah yang menyebabkan korupsi di Indonesia seperti air di sungai, mengalir terus tanpa henti. Jangankan Robin, saya sendiri pusing melihat keadaan politik Indonesia yang semerawut.

Dan ketika ditanya apa yang paling dirindukannya saat tak lagi tinggal di Indonesia, Robin menjawab, “Indonesian food. I love Indonesian foodI like ayam bakar, pempek, and nasi Padang.”

Joko menyambutnya dengan hangat. “I am from Padang.”

“Ouw… I like rendang. I like it,” sambil mengacungkan jempol tangannya kepada Joko.

Kami tertawa lepas. Seakan lupa sedang melakukan wawancara. Handycam yang saya pegang pun goyang. Tapi saya coba untuk menahan tawa agar handycam tetap stabil.

Time code di monitor handycam sudah berjalan 7 menit, daftar pertanyaan sudah habis. Sarah memberi kode akan mengakhiri wawancara. Dengan sigap, saya mundur agar dapat mengambil ketiganya dalam  bingkai full shot. Sarah dan Joko mengucapkan terima kasih dan menyampaikan salam perpisahan.

Sarah menambahkan, “Okay, Robin, thank you for making me proud of my nation.

“You should be proud.”

Pertemuan malam itu sangat berkesan dan penuh inspirasi. Saya banyak belajar dari Robin dan Jonas. Belajar tentang semangat, semangat menjalani hidup. Mereka membakar lagi semangat hidup saya untuk menaklukan "dunia." 

Mengutip film Sang Pemimpi, "Bercita-citalah yang tinggi. Bermimpilah yang besar. Reguk madu ilmu sebanyak-banyaknya. Belajarlah dari alam di sekitarmu. Resapi kehidupan. Jelajahi Indonesiamu yang luas. Jengkali Afrika yang eksotik. Jelajahi Eropa yang megah."

"Ini harus jadi mimpi kita."

Come on guys, keep dreaming. Don't stop dreaming.

Semua foto diunduh dari akun Facebook Robin Dutheil dan Jonas Clement

1 comment:

  1. i guess i know him (Robin..) hehehe
    he is rilly nice guy,,and damn fuckin smart!!
    n lil bit "strabge" ahahaha

    ReplyDelete