Friday, February 11, 2011

Prasangka Buruk Ciptaan Media Massa

Hari ini, 11 Februari 2011, media massa ramai memberitakan siapa perekam video penyerangan dan kekerasan yang dialami jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Arif, sang perekam video, langsung dimintai keterangan sebagai saksi kunci oleh Mabes Polri.

Tak hanya itu. Media massa lokal, nasional, hingga internasional, menelusuri penyebar video sadis itu. Semua merujuk ke satu akun milik Andreas Harsono. Wartawan sekaligus aktivis Human Right Watch ini, jadi orang pertama yang mengunggah video itu ke situs web video sharing You Tube.

Karena bias media massa, dan pemberitaan yang serba tanggung, Andreas mendapat banyak cibiran dari masyarakat. Saya temukan dua tulisan yang mempermasalahkan peran Andreas sebagai pengunggah video, lalu mengatakan peristiwa Cikeusik merupakan skenario pihak asing. Bahkan ada yang mengatakan, peristiwa Cikeusik masih satu rencana dengan kerusuhan Temanggung, Jawa Tengah, yang terjadi dua hari kemudian, 8 Februari 2011. Pokoknya, dua (link) tulisan di bawah ini “coba” menguji teori konspirasi.



Mengandalkan kutipan berita dari media massa, tanpa konfirmasi dan verifikasi pihak terkait, orang-orang ini menarik kesimpulan. Andreas dikaitkan dengan konspirasi peristiwa Cikeusik. Mentang-mentang dia pengunggah pertama.

Apa yang salah dengan media massa? Sehingga wacana ini tercipta?

Sore hari, saya kirim pesan singkat ke Andreas Harsono. Menanyakan kronologi peristiwa, ancaman yang ia dapat, sampai kengawuran media menginterpretasikan pernyataan Andreas. Beberapa menit kemudian, kami lanjutkan pembicaraan via telepon.

Andreas mengatakan, seorang jemaah Ahmadiyah mengirim video itu ke Human Right Watch, organisasi yang concern terhadap isu Hak Asasi Manusia (HAM), tempat Andreas bekerja. “Mereka mencari lembaga yang kredibel.”

“Aku dimintai tolong oleh Ahmadiyah. Mereka kecewa dengan Metro Tv, karena Metro Tv tidak proporsional. Mereka pakai istilah “bentrokan”.”

Istilah “bentrokan” yang digunakan Metro Tv, tidak tepat untuk menggambarkan situasi saat itu. Dalam KBBI Edisi Ketiga (2005), kata bentrok punya arti: bercekcok, berselisih, berlawanan, bertentangan, berlanggaran, bertumbukan. Apakah istilah “bentrokan” bisa menggambarkan secara holistik 3 jamaah Ahmadiyah yang tewas dipukuli kelompok Islam fanatik?

Jika video ini tak disebarkan, mungkin masyarakat tak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ada tiga jamaah Ahmadiyah yang tewas. Namun yang tampak di video hanya dua. Sambil meneriakkan takbir, massa memukuli dua jamaah Ahmadiyah itu dengan benda tumpul dan melemparinya dengan batu, berkali-kali. Terbujur lemas di tanah, satu korban dalam keadaan tengkurap, dan satu lagi meringkuk miring. Keduanya tak lagi mengenakan celana. Tubuh berlumur darah. Dan akhirnya, mereka tewas.

Selain dicibir banyak orang, Andreas juga menerima ancaman pembunuhan yang masuk ke akun You Tube-nya. Tapi ia santai saja menanggapi ancaman itu. Ia juga telah menyiapkan pengacara jika kasus ini berlanjut.

Andreas hanya ingin masyarakat tahu, kekerasan macam apa yang dialami jamaah Ahmadiyah?

Saya cukup mengenal Andreas. Pria kelahiran Jember, Jawa Timur, pada 1965 ini, sensitif terhadap isu HAM. Andreas pernah cerita pada saya, hak asasinya sewaktu kecil dirampas oleh rejim Orde Baru. Ia keturunan Tionghoa. Nama, agama, dan bahasa sehari-harinya dulu identik dengan budaya Tionghoa. Ia terpaksa mengganti nama dan melepas sebagian adat-budaya itu karena diskriminasi masyarakat terhadap orang Tionghoa.

“Orang yang ditindas itu cuma punya dua pilihan. Terus ditindas atau melawan. Dan saya pilih melawan,” tukas Andreas.

Atas dasar latar belakang, Andreas melawan ketidakadilan HAM. Ia mengikuti isu HAM di Papua, Aceh, Maluku, Timor Leste, hingga jamaah Ahmadiyah. Ia berempati kepada orang yang mengalami diskriminasi, atau penindasan.

Sebagai seorang wartawan, ia pun melayani permintaan wawancara dari banyak media yang sedang meliput peristiwa ini. Detikcom, Bisnis Indonesia, KBR 68H, Radio Trijaya, CNN, BBC, Al Jazeera, APTN, hingga Respekt. Namun, ia tak mau diwawancara salah satu televisi swasta yang menganggap medianya selalu terdepan mengabarkan.

“Aku memang ga mau diwawancara Tv One. Aku tidak setuju dengan kebijakan redaksinya. Karena tidak mengedepankan verifikasi. Buat aku, esensi jurnalisme adalah verifikasi.”

Cara berpikir Andreas tentang jurnalisme, sangat dipengaruhi oleh pemikiran Bill Kovach, guru saat Andreas dapat Nieman Fellowship on Journalism di Harvard University, Amerika Serikat.

“Dalam membuat diskusi, Tv One tidak melakukan fungsi forum publik. Orang diadu. Mereka tidak peduli dengan demokrasi. Jadi hanya cari sensasi.”

Terlepas dari pro-kontra Ahmadiyah, saya fokus memandang media yang seharusnya jadi alat kontrol sosial. Bukan sebagai agen penyebar prasangka. Hanya karena faktualitas, keberimbangan dan keutuhan fakta diabaikan.

Belum dapat data lengkap, tapi terus saja mengomentari atau mewartakan. Hasilnya, hanya omong-kosong. Pengulangan saja. Sebuah analisa bisa didapat dari kedalaman fakta. Spekulasi hanya akan menyebar prasangka buruk dalam masyarakat.

7 comments:

  1. Saya juga melihat ada trend yang membahayakan dari media massa saat ini. Terlebih lagi dengan adanya social media, informasi terbatas yang dibuat seolah-olah itu sudah "informasi terkini" ditambah dengan struktur masyarakat Indonesia yang reaktif, maka mudah sekali spekulasi-spekulasi ini terjadi.

    Saya pernah menulis hal yang serupa di blog saya: http://imo.thejakartapost.com/nrg07/2011/01/25/on-the-salary-issue-is-it-about-sbys-or-journalists/

    Jurnalisme tanpa kredibilitas namanya bukan jurnalisme. Sama saja dengan obrolan warung kopi tanpa verifikasi.

    ReplyDelete
  2. /quote Jurnalisme tanpa kredibilitas namanya bukan jurnalisme. Sama saja dengan obrolan warung kopi tanpa verifikasi.//quote

    di negeri ini, istilah tersebut lebih dikenal dengan infotainment

    ReplyDelete
  3. Trimakasi buat semuah ini. Saya bukan seorang jurnalis, tapi dari tulisan ini, dan dari kasus ini saya mempelajari sesuatu tentang Jurnalisme= Verivikasi adalah esensi dari jurnalisme bukan spekulasi.

    ReplyDelete
  4. sebenarnya saya ga peduli dengan sapa uploader video tersebut di youtube....

    tp yg sangat disayangkan adalah di youtube jadi banyak komen yg bernada "SARA"

    udah saya message uploadernya, untuk menghapus komen2 tsb ... tp sampe skrg blom ada tanggapan...

    ReplyDelete
  5. Hebat....
    Terimah kasih atas penjelasannya..

    ReplyDelete
  6. saya adalah salah satu mahasiswa jurusan komunikasi yang tidak ingin bekerja di media.
    alasannya kurang lebih seperti apa yang di sampaikan di atas.

    media pada dasarnya memiliki kepentingan. karena kekuatan ekonomi dan politik di belakangnya.

    lalu ke mana kita mencari perimbangan?
    pada media alternatif seperti blog ini misalnya.

    saya tidak suka menonton tv sejak 2007 karena kita diajarkan untuk memaki, mencela, menyalahkan, cuma itu.
    tanpa diajak untuk mencerna, menganalisis dalam.

    semoga setiap jurnalis, baik sipil maupun profesional, menyadari tanggung jawab sosialnya.

    ReplyDelete
  7. Anonymous 2: Jurnalisme itu menyenangkan. Semoga anda berminat belajar jurnalisme.

    Anonymous 3: Setahu saya video yg bikin geger itu sudah ditutup oleh Andreas Harsono.

    Anonymous 4: Itu memang konsekuensi kerja di media. Selama seorang wartawan punya ideologi dan punya tanggung jawab pada masyarakat, hal demikian pasti bisa diminimalisir. Semoga anda jadi berminat kerja di media, untuk ikut mengontrol sosial, dan memantau kekuasaan.

    ReplyDelete