Tuesday, April 26, 2011

Bayar Pajak Kendaraan Bermotor dengan Cepat di Samsat Outlet

Ingin bayar pajak kendaraan bermotor, tapi malas ngantri? Sudah capek-capek ngantri, tapi tak kunjung dipanggil. Ternyata eh ternyata, dokumen kita diselak orang-orang yang menggunakan jasa calo. Alhasil, harus rela ngantri selama 2 sampai 3 jam. Begitulah suka duka saat mengurus pajak kendaraan bermotor di Kantor Samsat (Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap).

Kini, masyarakat Jawa Barat yang memiliki kendaraan pribadi (bukan umum) baik roda 2 ataupun 4, tak perlu lagi antri berjam-jam untuk membayar pajak 1 tahunan kendaraan bermotor di Kantor Samsat. Karena, hingga tulisan ini di-posting, Pemerintah Jawa Barat telah menyediakan 11 Samsat Outlet yang berada di dalam pusat perbelanjaan/mall. Semoga jumlah ini terus bertambah.

Berikut daftar Samsat Outlet di Jawa Barat:
1. Bandung Trade Center Pasteur
2. Depok Town Square
3. ITC Cibinong
4. Bogor Trade Mall
5. Plaza Pondok Gede Bekasi
6. Plaza Metropolitan Cikarang
7. Mal Cikampek Karawang
8. Grage Mall Cibinong
9. Kebon Kelapa Bandung
10. Bandung Trade Mall
11. Jatinangor Town Square

Karena kebetulan saya tinggal di daerah Bintara, Bekasi, maka saya bayar pajak kendaraan di Samsat Outlet Pondok Gede. Karena baru pertama perpanjang pajak STNK di Samsat Outlet, saya ingin berbagi pengalaman di sini... Hehehe...

Sejak 27 Januari 2011, Kepolisian Daerah Jawa Barat, Dinas Pendapatan Propinsi Jawa Barat, Jasa Raharja (Persero), bekerjasama dengan Bank Jabar Banten, membuka Samsat Outlet di Plaza Pondok Gede 2, lantai basement, yang diperuntuhkan untuk warga Bekasi dan Cikarang.


Samsat Outlet didominasi warna biru 

Outlet ini buka setiap hari. Senin sampai Jumat, buka dari pukul 9.00 hingga 15.00. Khusus Sabtu dan Minggu, dari pukul 9.00 sampai 14.00. Pada akhir bulan, mereka tutup lebih awal karena harus tutup buku untuk mengajukan laporan ke Samsat Induk.

Memang tak ada petunjuk yang menegaskan posisi Samsat Outlet ini. Tapi, anda cukup ke lantai basement Plaza Pondok Gede 2, dan bertanya pada security atau pedagang setempat tentang posisi outlet tersebut. Cukup mudah untuk menemukan lokasinya.

Seperti biasa, anda harus membawa dokumen: BPKB, STNK, dan KTP. Bawalah dokumen asli dan fotokopiannya (cukup satu lembar saja). Untuk efisiensi waktu, saya sarankan untuk memfotokopi dokumen itu sebelum berangkat ke outlet.

Sesampainya di sana, isilah formulir yang telah disediakan. Lalu serahkan dokumen (yang asli dan fotokopian) bersama formulir. Tak sampai 15 menit, anda akan dipanggil untuk membayar pajak. Dilanjutkan dengan mengambil STNK . Walau loketnya hanya sedikit, tapi prosesnya cepat. Yaiyalah, secara ga ada calo… Ga perlu mengeluarkan ongkos tambahan juga (baca: pungutan liar).

Samsat Outlet ini terbilang nyaman, karena berada dalam pusat perbelanjaan, yang tentu saja ber-AC. Antrian juga tidak terlalu panjang.

Bagi anda yang belum memegang BPKB atau kendaraan anda masih dalam proses kredit, sebelumnya harus meminta surat pengantar dari leasing sebagai pengganti BPKB. Bawalah surat pengantar itu, dan anda bisa membayar pajak di Samsat Outlet.

Jika anda telat membayar pajak kendaraan dalam kurun waktu 10 bulan, anda masih bisa membayarnya di outlet ini. Lebih dari 10 bulan, anda harus membayarnya di Kantor Samsat.

Sementara untuk mutasi atau pindah nama, penggantian STNK 5 tahunan dan cek fisik (nomor rangka, nomor mesin, warna dan bentuk), Samsat Outlet tidak bisa melayani. Anda harus ke kantor Samsat. Sekedar info, Kantor Samsat Bekasi ada di Jl. Ahmand Yani No. 1, Bekasi. Posisinya tepat di depan GOR Bekasi. Sementara Kantor Samsat Cikarang, ada di Jl. Raya Industri no. 14 Cikarang.

Saya teringat tagline “Orang Bijak Bayar Pajak,” yang sering saya temui di iklan layanan masyarakat wajib pajak. Jika prosesnya pembayaran pajak secepat ini, tidak dipersulit, saya yakin dengan sendirinya masyarakat akan menjadi pribadi yang taat pajak. Dan yang pasti, masyarakat yang bayar pajak di outlet sedikit demi sedikit ikut memutus rantai korupsi.

Dari pengalaman ini saya menilai, birokrasi pembayaran pajak kendaraan itu sebenarnya sangat mudah. Hanya saja ada pihak yang suka mempersulit dan mengambil keuntungan pribadi.  Ironisnya, calo-calo itu tidak hanya masyarakat sipil, tapi juga oknum kepolisian. Dengan seragam cokelatnya, mereka menawarkan diri “membantu mempercepat” proses pembayaran. Lobi sini, lobi sana. Urus ini-itu. Harga diri seragam cokelatnya hanya dinilai dengan puluhan ribu rupiah, tidak sampai seratus ribu rupiah. Belum lagi muka cemberut yang enggan memberi informasi lengkap. Pelayanan publik minus sekali.

Sekian curahan hati saya tentang pengalaman bayar pajak kendaraan bermotor. Semoga berguna, terutama bagi para pekerja yang tak memiliki waktu luang J

Sunday, April 17, 2011

Mereka Sekarat

Mereka, mengetik berpacu dengan detik
Mereka, putar otak mencari diksi
Mereka, pemilih ucapan sang pembicara

Terkadang mereka, memecah belah satu kesatuan
Demi sebuah target sang kapital

Pergi ke sana sebagai saksi hidup momen penting
Pergi ke sini memandang dan mendengar dengan teliti

Satu jam peristiwa berselang, halo-halo sang atasan menantang
Masa bodoh dengan alur yang akrobat, dan jungkir balik susunan
Yang penting pesan, boro-boro memikirkan kesan

Karena mereka tak diberi kesempatan perdaban kekinian
Karena penghargaan terhadap mereka mulai luluh

Ada mereka yang bekerja tanpa ideologi
Hantam sana, hantam sini
Padahal massa mempercayakan mereka

Ini karena mereka tak dapat yang sepadan
Mencari dan mengejar empunya acara
Mengharapkan persegi berwana putih, atau kadang cokelat

Sensasi, kuantitas, aktualitas,
Sulit aku mengejarmu
Aku ingin menyelam yang dalam, yang berkualitas, yang berkesan

Tapi jaman menentang, sang kapital yang merancang
Informasi menjadi tak punya harga diri

Satu dua orang sudah mencoba mengubah sistem, membangun dinasti baru
Lagi-lagi dihadang oknum yang membuat bau najis paragraf laporan

Mereka yang tahu dan membaca sepak terjang para senior
Mereka yang sebelumnya punya visi
Sekarat, diculik kenihilan arti

Tuesday, April 5, 2011

Kursus Narasi Angkatan ke XI periode Mei – September 2011

Kursus ini dirancang untuk orang yang ingin belajar menulis panjang dan memikat sekaligus mendalam. Ia juga diperuntukkan bagi mereka yang berminat menulis esai atau buku.


Pengajar utama kursus ini Andreas Harsono, wartawan yang pernah bekerja di beberapa media internasional, anggota International Consortium of Investigative Journalists, pada 1999-2000 mengikuti Nieman Fellowship di Universitas Harvard, Amerika Serikat. Budi Setiyono, wartawan Jakarta, pernah bekerja untuk Suara Merdeka (Semarang) dan majalah Pantau (Jakarta). Ia jadi co-editor buku Revolusi Belum Selesai yang berisi kumpulan pidato politik Presiden Soekarno serta Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Kini ia sedang menyelesaikan buku soal penyair A.S. Dharta dari Lembaga Kebudayaan Rakyat.


Kursus ini juga mendatangkan penulis dari luar Pantau, mereka adalah:


Musdah Mulia – seorang feminis Muslim terkemuka di Asia, peneliti, konselor, penulis, dan aktif di berbagai lembaga masyarakat.


Seno Gumira Ajidarma—Wartawan, Fotografer, Penulis, Dosen Institut Kesenian Jakarta. Ia telah melahirkan banyak karya. Dalam kurun waktu 1988 – 1999 ia membuat buku kumpulan cerita pendek berjudul “Manusia Kamar”, “Penembak Misterius”, “Saksi Mata”, “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi”, “Sebuah Pertanyaan untuk Cinta” dan “Iblis Tidak Pernah Mati”. Beberapa penghargaan diraihnya yaitu Sea Write Award pada tahun 1987, dan Dinny O’Hearn Prize for Literary untuk karyanya berjudul “Saksi Mata” (1997). Masih banyak karyanya yang lain di antaranya “Matinya Seorang Penari Telanjang” (2000) dan “Negeri Senja” yang mendapat Khatulistiwa Literary Award 2004.


Harga kursus ini 4 juta rupiah, sudah termasuk semua materi dan bahan bacaan, baik berupa buku maupun bahan-bahan dalam bentuk hard copy, serta sertifikat.


Hubungi:
Siti Nurrofiqoh (Program Officer)
P a n t a u
Jl. Raya Kebayoran Lama
No 18 CD Jakarta Selatan 12220
Telp/Fax. 021 722-1031/021- 7221055
Website. www.pantau.or. id
Mobile. 0813 82 460 455

Monday, March 21, 2011

Nasihat Kawan Dekat

Aku sudah baca buku barumu
Biasa saja. Tak ada yang istimewa
Seperti tidak dari hati

Tak ada harmoni dalam harmonisasi
Tidak seperti kita dulu
Yang selalu berangkat dari hati, lembut ataupun keras
Sampai kepala angguk-angguk ataupun mengombak

Katanya akan datang Paman Sam
Bak dewa penolong bagimu, memenuhi rasa inginmu
Tapi ia datang dari peradaban kapitalis, serakah

Kau pernah mengajakku memainkan lagi si kayu elok
Siapa diantara kita yang jadi John Lennon atau Paul Mc Chartney?
Tapi aku berharap jadi Freddy Mercury
Mengutamakan harmonisasi, seperti pemain angklung

Kau terlalu vulgar menunjukkan siapa dirimu
Hey… orang-orang tak peduli
Yang peduli cuma empunya aksara besar kecil

Kau berharap kosmos memberi positivismenya padamu
Berpikir memadukan alam dan Tuhan, seperti Stephen Hawking
Tapi kau tak mau menolong sesama
Ideologimu abu-abu

Seperti sang bintang kebanyakan, kau memulai pandangan palsu
Demi imaji dan fantasi
Aku yakin, kau tahu itu salah. Salah besar

Sepele memang, tak seperti budaya korupsi di negeri ini
Hati-hati, yang salah ini lama-lama bisa kau benarkan
Semakin ia menghantui kejeniusanmu, maka semakin palsu
Inilah agenda besar pengikut tatanan dunia baru

Atau kau memang mengikuti para liberal?
Mendominasi dunia dan pikiran manusia?
Ingatlah, bahwa aku bangga dengan agraris dan Marxis
Aku akan jadi kritikus jika kau demikian

Kawan, aku hanya bisa mengingatkan bahwa itu palsu
Coba kau bayangkan bagaimana akhirnya?
Ideologimu yang dulu, padi yang merunduk, menantimu…

Saturday, February 26, 2011

Besar dan Berguna

Pertama kali aku melihat dia didorong dengan kursi roda
Ia pandangi putra-putri di rumah Tercintanya

Aku tak mengenalnya
Aku tak mengetahui wataknya
Bahkan aku tak tahu detil wajah, dan cara berjalannya

Tapi aku merasa dekat dengannya, bahkan mesra
Dari apa yang kubaca
Dari orang yang bercerita tentang dia

Tak semua orang berani jadi penggagas
Kebanyakan hanya mengekor, menggeretak lewat kata-kata
Seperti permen karet, manis di awal, antah di akhir, cuma bikin rahang pegal

Tapi ia beda, ia berguna
Ilmu tak pernah mati
Meski usang tak relevan dimakan jaman

Ia tetap abadi
Seperti gravitasi yang tetap eksis meski ditinju kegeniusan relativitas

Isi pernyataan
Falsafah hidup
Konsepsi kebahagiaan
Saluran komunikasi

Inilah yang membuat ia beda
Yang membuat ia besar
Karena ia menggagas, bukan mengekor

Menulis adalah bekerja untuk keabadian, begitu kata Pramoedya Ananata Toer
Agar tidak ditelan masyarakat dan sejarah
Dan bukan sekedar retorika singa podium

Selamat jalan guruku, Ali Moechtar Hoeta Soehoet
Anda masih di tengah jaman
Karena Anda telah bekerja untuk keabadian


Saya dedikasikan puisi ini untuk Almarhum Ali Moechtar Hoeta Soehoet, pendiri Kampus Tercinta - Institut ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta. Beliau wafat pada Rabu, 23 Februari 2011, di usianya yang ke-83 tahun, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

Friday, February 11, 2011

Prasangka Buruk Ciptaan Media Massa

Hari ini, 11 Februari 2011, media massa ramai memberitakan siapa perekam video penyerangan dan kekerasan yang dialami jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Arif, sang perekam video, langsung dimintai keterangan sebagai saksi kunci oleh Mabes Polri.

Tak hanya itu. Media massa lokal, nasional, hingga internasional, menelusuri penyebar video sadis itu. Semua merujuk ke satu akun milik Andreas Harsono. Wartawan sekaligus aktivis Human Right Watch ini, jadi orang pertama yang mengunggah video itu ke situs web video sharing You Tube.

Karena bias media massa, dan pemberitaan yang serba tanggung, Andreas mendapat banyak cibiran dari masyarakat. Saya temukan dua tulisan yang mempermasalahkan peran Andreas sebagai pengunggah video, lalu mengatakan peristiwa Cikeusik merupakan skenario pihak asing. Bahkan ada yang mengatakan, peristiwa Cikeusik masih satu rencana dengan kerusuhan Temanggung, Jawa Tengah, yang terjadi dua hari kemudian, 8 Februari 2011. Pokoknya, dua (link) tulisan di bawah ini “coba” menguji teori konspirasi.



Mengandalkan kutipan berita dari media massa, tanpa konfirmasi dan verifikasi pihak terkait, orang-orang ini menarik kesimpulan. Andreas dikaitkan dengan konspirasi peristiwa Cikeusik. Mentang-mentang dia pengunggah pertama.

Apa yang salah dengan media massa? Sehingga wacana ini tercipta?

Sore hari, saya kirim pesan singkat ke Andreas Harsono. Menanyakan kronologi peristiwa, ancaman yang ia dapat, sampai kengawuran media menginterpretasikan pernyataan Andreas. Beberapa menit kemudian, kami lanjutkan pembicaraan via telepon.

Andreas mengatakan, seorang jemaah Ahmadiyah mengirim video itu ke Human Right Watch, organisasi yang concern terhadap isu Hak Asasi Manusia (HAM), tempat Andreas bekerja. “Mereka mencari lembaga yang kredibel.”

“Aku dimintai tolong oleh Ahmadiyah. Mereka kecewa dengan Metro Tv, karena Metro Tv tidak proporsional. Mereka pakai istilah “bentrokan”.”

Istilah “bentrokan” yang digunakan Metro Tv, tidak tepat untuk menggambarkan situasi saat itu. Dalam KBBI Edisi Ketiga (2005), kata bentrok punya arti: bercekcok, berselisih, berlawanan, bertentangan, berlanggaran, bertumbukan. Apakah istilah “bentrokan” bisa menggambarkan secara holistik 3 jamaah Ahmadiyah yang tewas dipukuli kelompok Islam fanatik?

Jika video ini tak disebarkan, mungkin masyarakat tak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ada tiga jamaah Ahmadiyah yang tewas. Namun yang tampak di video hanya dua. Sambil meneriakkan takbir, massa memukuli dua jamaah Ahmadiyah itu dengan benda tumpul dan melemparinya dengan batu, berkali-kali. Terbujur lemas di tanah, satu korban dalam keadaan tengkurap, dan satu lagi meringkuk miring. Keduanya tak lagi mengenakan celana. Tubuh berlumur darah. Dan akhirnya, mereka tewas.

Selain dicibir banyak orang, Andreas juga menerima ancaman pembunuhan yang masuk ke akun You Tube-nya. Tapi ia santai saja menanggapi ancaman itu. Ia juga telah menyiapkan pengacara jika kasus ini berlanjut.

Andreas hanya ingin masyarakat tahu, kekerasan macam apa yang dialami jamaah Ahmadiyah?

Saya cukup mengenal Andreas. Pria kelahiran Jember, Jawa Timur, pada 1965 ini, sensitif terhadap isu HAM. Andreas pernah cerita pada saya, hak asasinya sewaktu kecil dirampas oleh rejim Orde Baru. Ia keturunan Tionghoa. Nama, agama, dan bahasa sehari-harinya dulu identik dengan budaya Tionghoa. Ia terpaksa mengganti nama dan melepas sebagian adat-budaya itu karena diskriminasi masyarakat terhadap orang Tionghoa.

“Orang yang ditindas itu cuma punya dua pilihan. Terus ditindas atau melawan. Dan saya pilih melawan,” tukas Andreas.

Atas dasar latar belakang, Andreas melawan ketidakadilan HAM. Ia mengikuti isu HAM di Papua, Aceh, Maluku, Timor Leste, hingga jamaah Ahmadiyah. Ia berempati kepada orang yang mengalami diskriminasi, atau penindasan.

Sebagai seorang wartawan, ia pun melayani permintaan wawancara dari banyak media yang sedang meliput peristiwa ini. Detikcom, Bisnis Indonesia, KBR 68H, Radio Trijaya, CNN, BBC, Al Jazeera, APTN, hingga Respekt. Namun, ia tak mau diwawancara salah satu televisi swasta yang menganggap medianya selalu terdepan mengabarkan.

“Aku memang ga mau diwawancara Tv One. Aku tidak setuju dengan kebijakan redaksinya. Karena tidak mengedepankan verifikasi. Buat aku, esensi jurnalisme adalah verifikasi.”

Cara berpikir Andreas tentang jurnalisme, sangat dipengaruhi oleh pemikiran Bill Kovach, guru saat Andreas dapat Nieman Fellowship on Journalism di Harvard University, Amerika Serikat.

“Dalam membuat diskusi, Tv One tidak melakukan fungsi forum publik. Orang diadu. Mereka tidak peduli dengan demokrasi. Jadi hanya cari sensasi.”

Terlepas dari pro-kontra Ahmadiyah, saya fokus memandang media yang seharusnya jadi alat kontrol sosial. Bukan sebagai agen penyebar prasangka. Hanya karena faktualitas, keberimbangan dan keutuhan fakta diabaikan.

Belum dapat data lengkap, tapi terus saja mengomentari atau mewartakan. Hasilnya, hanya omong-kosong. Pengulangan saja. Sebuah analisa bisa didapat dari kedalaman fakta. Spekulasi hanya akan menyebar prasangka buruk dalam masyarakat.

Friday, December 10, 2010

Belajar dari Seorang Perancis, Robin Dutheil

Bertepatan dengan hari anti korupsi sedunia, 9 Desember 2010, saya ikut teman ke sebuah rumah kos di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, dekat gedung Sampoerna Strategic. Saya berangkat bersama Joko Prayitno, Sarah Ghariza, dan Tya Gita Kirana. Tujuannya, bertemu seorang bule. Tiga teman saya itu hendak mewawancarai bule, untuk tugas akhir mata kuliah Bahasa Inggris 3.

Sesampainya di rumah kos, jam 7 malam, bule yang dimaksud belum tiba. “Mereka masih di jalan. Sebentar lagi sampe ko,” ujar Gita. Gita sudah kenal sebelumnya dengan salah seorang bule itu.

Tak lama datanglah dua bule. “Hallo, selamat malam.” Dengan sahaja mereka memperkenalkan diri.

“Hallo, aku Robin. Ini teman saya, Jonas,” Robin memperkenalkan temannya. Jonas pun memperkenalkan dirinya kepada saya. “I’m Jonas.”

“Hallo, I’m Adit.”

Lidah Jonas keserimpet menyebut nama saya. “Adi,” ujarnya.

“No, Adit. A. D. I. T. Use ‘t’,” tegas saya.

Lagi-lagi lidahnya masih keserimpet, “Adi … Adi.” Saya geli sendiri mendengarnya. Hingga akhirnya Jonas hampir benar menyebut nama saya.

Saya pikir usia mereka mendekati 30. Ternyata salah, Robin berusia 25, dan Jonas 23, sepantaran dengan saya. Sulit bagi saya memprediksi usia bule. Mungkin karena terbiasa menilai usia orang sekitar berdasarkan sikap, raut wajah, dan gaya bicara.

Dua turis asal Paris ini, habis jalan-jalan keliling Jakarta. Robin mengenakan kemeja cokelat, celana jeans dan sandal. Bagian pundak kemejanya berkeringat, ceplakan tas ransel. Posturnya tidak tinggi, sekitar 165 cm. Cukup kecil untuk ukuran orang Eropa. Sementara Jonas, berpostur tinggi besar. Saya sampai melonga saat bicara dengannya. Gaya Jonas seperti ABG pada umunya, ia kenakan kaos putih bermotif ceria, celana jeans dan sweater hitam.

They are my new friends, Robin Dutheil and Jonas Clement. They came from Paris, France. They so funny, friendly, and earthy. I share the culture with them.

Robin baru setahun tinggal di Kuningan, tapi bahasa Indonesianya sudah lancar. Sementara Jonas, baru hitungan minggu berada di Indonesia. Ia baru bisa ngomong bahasa Indonesia pengantar, macam; selamat pagi, terima kasih, dan capek.

Kami naik ke lantai dua. Robin dan Jonas menyewa kamar kos di blok F, nomor 1. Sambil menunggu Jonas mandi menyegarkan diri, Robin ajak kami ngobrol di depan kamar. Kami duduk di lantai. Robin lah promotornya. “Saya suka duduk di lantai.” Padahal, ada kursi panjang yang muat diduduki sampai 10 orang. Pembicaraan sangat seru, menyenangkan, tidak garing. Robin bercerita pengalamannya di Indonesia. Ia mengajar bahasa Perancis di Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Bintaro. Ia juga bekerja sebagai web designer, animator, dan pembuat game. Segalanya tentang Robin bisa dilihat di web pribadinya; www.rabou.eu/. Web ini sangat elegan dan futuristik.

Saya kagum dengan Robin, ia bicara bahasa Indonesia dengan lancar. Seperti sedang bicara dengan orang Indonesia. Saya iseng tanyakan apa rahasianya agar bisa dengan cepat berbahasa Indonesia.

Robin menjawab, “Hiduplah sendiri, tanpa teman dari negara asal kamu. Dengan begitu, kamu akan cepat mempelajari suatu bahasa.”

Saya terkejut dengan jawaban Robin. Ini seperti pepatah; sambil menyelam minum air. Sambil bekerja, belajar bahasa. Teman saya, Joko, terkesima dengan jawaban Robin. Pernyataan itu sangat mengena di hatinya. “Gua suka jawaban itu.” Joko seorang perantau dari Padang yang mengemban pendidikan di Jakarta.

Robin bercerita tentang temannya yang sudah 4 tahun tinggal di Indonesia, tapi hanya bisa bicara; selamat pagi, selamat siang, selamat malam, dan terima kasih. Itu karena dia tidak membiasakan berbahasa Indonesia. Di lingkungan kerja, ia selalu bicara bahasa Inggris dan Perancis. Intinya, harus practice, practice, and practice!

Robin meramalkan Jonas tak akan cepat berbahasa Indonesia. Karena dia tinggal bersama Robin, teman dekatnya. Sejak Jonas tiba di Jakarta, Robin jadi pemandu wisata, yang memberi pengertian dengan bahasa Perancis. Di kamarpun, mereka gunakan bahasa Perancis atau Inggris. Jonas jarang berbahasa Indonesia. Jika Jonas bingung dengan arti bahasa Indonesia, Robin jadi penerjemah. Jonas tak menemukan kemandirian berbahasa yang sejati, begitu kira-kira analoginya.

Jonas selesai mandi, kini giliran Robin menyegarkan diri. Jonas keluar kamar dengan kaos lengan buntung dan celana pendek. Ia ikuti jejak Robin, dengan duduk di lantai. Ia kembali mengingat nama kami. Disebutnya satu per satu. Lagi-lagi Jonas keserimpet menyebut nama saya. “Adi.”. Huruf ‘t’ di belakang nama saya ketinggalan. Hahahaha.

Pembicaraan dengan Jonas tak kalah seru. He’s so funny, sekaligus iseng. Berkali-kali ia isengi Gita. Sarah juga tak luput dari keisengan Jonas.

Saat Sarah mengeluarkan handycam, Jonas berucap, “that’s so beautiful.”

Sambil tersenyum Sarah menjawab, “Thank you, Jonas.”

“No… no… no…. Not you. But that’s handycam.”

Kami tertawa dengan guyonan Jonas. “Becandaan kayak gitu juga ada di Eropa, ya?” ujar saya.

Tak lama Robin keluar, dengan kaos hitam yang dimasukan ke celana jeans. Ia dengar kami bicara dengan Jonas menggunakan bahasa Inggris. “Oke, kita gunakan bahasa Inggris,” tantang Robin. Tiap kali di antara kami ada yang berbahasa Indonesia, Robin dan Jonas langsung memotong, “Come on, English please. Practice! Practice!” Mereka ajak kami untuk berani berbahasa Inggris. Salah tak masalah, yang penting nekad.

Jonas dan Robin sudah menyegarkan diri, mereka ajak kami mempersingkat waktu. “We can start the interview? Want to outside or inside the room?” Kami pilih di kamar. Agar dapat meminimalisir noise jalan raya dan angin.

Robin and Jonas in Bali
Di dalam kamar, ada peta Indonesia, Sulawesi, dan Jabodetabek. Robin pernah berwisata ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Wow, dia sudah keliling Indonesia. Dan sepertinya ia memang jatuh cinta dengan Indonesia, terutama Toraja dan Bali.

Robin dan Jonas, keduanya menggunakan MacBook Pro. Robin beli di Indonesia, Jonas beli di Paris. Saya baru tahu, Perancis punya standar sendiri menentukan tata letak tombol pada keypad handphone atau keyboard komputer.

Indonesia, dan kebanyakan negara di dunia, menggunakan standar tata letak QWERTY. Nama itu diambil berdasarkan urutan alfabet Q, W, E, R, T, dan Y, yang berada di baris paling atas pada keyboard. Tata letak QWERTY ini pertama kali digunakan pada mesin tik buatan E. Remington pada 1874.

Perancis dan Belgia lain sendiri, mereka gunakan tata letak AZERTY. Jadi, baris paling atas pada keyboard-nya adalah A, Z, E, R, T, dan Y. Tombol-tombol yang bertukar antara lain; A bertukar dengan Q. Z dengan W. M pindah ke sebelah kanan L, menggantikan posisi tombol titik dua/titik koma. Dalam format AZERTY, ada beberapa tombol tambahan guna mendukung aksen bahasa Perancis, seperti é, à dan ô, serta beberapa simbol-simbol lain seperti œ, yang tidak ada dalam bahasa Inggris. Saya pun tak mengerti cara mengoperasikannya, karena tak bisa berbahasa Perancis. Hehehe.

Hal lain yang menarik perhatian saya dari isi kamar Robin, ada tumpukan bumbu dan rempah-rempah khas Indonesia. Robin dan Jonas membelinya di pasar tradisional untuk dikirim ke seorang rekan di Perancis, yang hendak memasak masakan Padang.

Robin Shopping in traditional market

Rasanya sudah cukup saya memperhatikan isi kamar Robin. Kembali lagi ke tujuan utama, mewawancarai seorang bule. Robin melihat daftar pertanyaan. Ia mengoreksi tata bahasa yang salah, dan menerangkan dengan jelas bagaimana yang benar. Saya menilai ia orang yang perhatian dan peduli.

Kami sudah memutuskan untuk merekam wawancara di kamar kos Robin. Tapi, kamarnya tidak terlalu besar. Sudah penuh dengan spring bed ukuran nomor 2, meja televisi, kulkas, dan lemari pakaian yang cukup besar. Ini menyulitkan saya selaku juru kamera dalam menentukan angle yang sedap dipandang. Akhirnya, kami pilih posisi duduk bersila di lantai dengan nuansa santai dan bersahabat.

Sarah dan Joko jadi satu kelompok. Mereka pilih Robin sebagai narasumber. Culture shock jadi tema besar. Sarah dan Joko juga menanyakan tentang pop culture, yang belakangan ini banyak dianut remaja Indonesiasalah satunya video lipsing Keong Racun ala Sinta dan Jojo. Robin tahu video itu. Dia menyanyikan bait awal lagu Keong Racun.

“Dasar kau Keong Racun. Baru kenal udah ngajak tidur,” sambil meniru aksi Sinta – Jojo yang menaik-turunkan jari telunjuknya.

Dalam wawancara itu, Robin berkata ia adalah orang yang lapar kebudayaan. Indonesia beruntung punya beragam kebudayaan. “Rainbow culture,” begitu istilah yang diberikan Robin. Di Perancis dan negara Eropa lainnya, tak punya kebudayaan beragam seperti Indonesia. Lapar kebudayaan Robin, bisa dilihat dari selera musiknya. Musik yang dimainkan dari MacBook-nya kebanyakan berjenis etnik instrumen. Ada yang dari Jepang, Cina, Hongkong, hingga Afrika. Kalau dari Indonesia, ia suka lagu-lagu Batik Tribe, grup musik yang memadukan hip-hop dengan ensemble musik tradisional, seperti gamelan, kolintang, suling, dan bonang.

Sampailah pertanyaan pada apa yang dibenci Robin dari Indonesia? Dengan pede ia menjawab, “politic.” Menurut Robin, banyak politikus Indonesia yang mementingkan diri sendiri, makan hak orang kecil. Kurangnya kesadaran inilah yang menyebabkan korupsi di Indonesia seperti air di sungai, mengalir terus tanpa henti. Jangankan Robin, saya sendiri pusing melihat keadaan politik Indonesia yang semerawut.

Dan ketika ditanya apa yang paling dirindukannya saat tak lagi tinggal di Indonesia, Robin menjawab, “Indonesian food. I love Indonesian foodI like ayam bakar, pempek, and nasi Padang.”

Joko menyambutnya dengan hangat. “I am from Padang.”

“Ouw… I like rendang. I like it,” sambil mengacungkan jempol tangannya kepada Joko.

Kami tertawa lepas. Seakan lupa sedang melakukan wawancara. Handycam yang saya pegang pun goyang. Tapi saya coba untuk menahan tawa agar handycam tetap stabil.

Time code di monitor handycam sudah berjalan 7 menit, daftar pertanyaan sudah habis. Sarah memberi kode akan mengakhiri wawancara. Dengan sigap, saya mundur agar dapat mengambil ketiganya dalam  bingkai full shot. Sarah dan Joko mengucapkan terima kasih dan menyampaikan salam perpisahan.

Sarah menambahkan, “Okay, Robin, thank you for making me proud of my nation.

“You should be proud.”

Pertemuan malam itu sangat berkesan dan penuh inspirasi. Saya banyak belajar dari Robin dan Jonas. Belajar tentang semangat, semangat menjalani hidup. Mereka membakar lagi semangat hidup saya untuk menaklukan "dunia." 

Mengutip film Sang Pemimpi, "Bercita-citalah yang tinggi. Bermimpilah yang besar. Reguk madu ilmu sebanyak-banyaknya. Belajarlah dari alam di sekitarmu. Resapi kehidupan. Jelajahi Indonesiamu yang luas. Jengkali Afrika yang eksotik. Jelajahi Eropa yang megah."

"Ini harus jadi mimpi kita."

Come on guys, keep dreaming. Don't stop dreaming.

Semua foto diunduh dari akun Facebook Robin Dutheil dan Jonas Clement