Thursday, October 28, 2010

Pertanyaan-Pertanyaan Pekerja yang Suka Membaca

Katakan padaku, siapa yang membangun Thebes dengan tujuh gerbangnya?
Dalam buku-buku, kamu akan membaca nama-nama raja sebagai pembangunnya.
Apakah raja-raja itu mengeruk ujung-ujung batu padas?

Dan, ketahuilah Babilon itu telah diremukkan berulang kali, lalu siapa juga yang membangkitkannya berulang kali?

Di rumah macam apakah, penambang emas-emas Lima yang berkilauan itu tinggal?
Dimanakah, ketika tembok besar Cina selesai dikerjakan, para tukang batunya berehat?

Roma yang agung penuh dengan monumen-monumen hebat.
Siapa yang mendirikannya?

Karena siapakah Caesar itu dapat meraih kemenangan?
Sudahkah Binzantium yang selalu dipekikkan dalam nyanyian menjadi tempat yang nyaman bagi pendudukknya?

Bahkan, di tempat khayali yang bernama Atlantis, ketika samudera telah menelannya, banjir-banjir masih menggaungkan nama budak-budak kota itu.

Alexander muda menaklukkan India.
Apakah dia melakukannya sendirian?

Caesar menghancurkan Galia.
Apakah dia sungguh sendiri, hingga tidak butuh satu tukang masakpun?

Philipo dari Spanyol terisak ketika armadanya kalah.
Apakah cuma dia yang terisak?

Frederick Kedua memenangkan perang tujuh tahunan.
Apakah cuma dia seorang yang melakukannya?

Setiap ada kisah kemenangan, siapa sajakah tukang yang memasakkan makanan buat para pemenang?

Semakin banyak kisah,
semakin banyak pertanyaan!

BERTOLT BRECHT 1935


Diunggah dari akun Facebook Wilfried Ebitstein; http://www.facebook.com/album.php?aid=17177&id=100000671544016

Promosi Durian Runtuh buat Timur Pradopo

Dari delapan nama calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Markas Besar Polri bersama Komisi Kepolisisan Nasional meloloskan dua calon. Yakni Komisaris Jendral Nanan Soekarna dan Komisaris Jendral Imam Sudjarwo.

Nanan Soekarna dekat dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Ia juga sempat mencari dukungan Aburizal Bakrie, pada Agustus lalu. Otomatis, politikus Partai Golongan Karya (Golkar) mendukungnya. Hal ini menyebabkan Presiden Yudhoyono tidak suka kepadanya.

Imam Sudjarwo, yang sebelumnya berpangkat Inspektur Jendral bintang dua, dinaikan pangkatnya menjadi Komisaris Jendral bintang tiga, pada 20 September lalu.

Presiden Yudhoyono didukung Partai Demokrat dan partai koalisi lainnya, lebih menyukai Imam Sudjarwo. Karena terkenal loyal pada atasan. Dan yang terpenting, tidak berpolitik.

Imam lama bertugas di kesatuan Brigade Mobil, unit semimiliter di kepolisian. Ia juga kakak ipar dari Mayor Jendral Pramono Edhie Wibowo, Panglima Kodam Siliwangi, Jawa Barat, yang tak lain adalah adik dari istri Presiden, Ani Yudhoyono. Karena kedekatannya dengan Presiden, Imam diprediksi sebagai calon kuat. Sejak itu, nama Nanan meredup.

Namun ternyata, Partai Golkar tidak merestui Imam. Muncul wacana untuk memadukan dua calon itu. Kabar beredar Presiden Yudhoyono menginginkan Imam menjadi Kapolri, dan Nanan jadi Wakil Kapolri (Wakapolri). Tapi, politikus Golkar menginginkan sebaliknya. Nanan jadi Kapolri, Imam sebagai Wakapolri.

Desakan Golkar membuat Presiden bimbang. Ia tak mau membuat hubungan politiknya dengan Golkar menjadi tak harmonis. Padahal, pengangkatan dan pemberhentian Kapolri merupakan hak prerogratif Presiden.

Akhirnya, muncul gagasan untuk mengajukan calon kuat yang ketiga.

Pada 4 Oktober, siang hari, Timur Pradopo dikukuhkan sebagai Komisaris Jendral bintang tiga oleh Bambang Hendarso.

Malam harinya, Presiden Yudhoyono langsung mengirim surat ke Ketua DPR Marzuki Alie. Surat itu meyatakan bahwa Timur adalah satu-satunya nama yang diusulkan sebagai calon Kapolri.

"Memberhentikan Bapak Jenderal (Pol) Drs Bambang Hendarso Danuri, MM, karena akan memasuki masa pensiun pada 31 Oktober yang akan datang, dan mengangkat Komjen (Pol) Timur Pradopo sebagai calon kapolri," demikian Marzuki membacakan isi surat Presiden di ruang kerjanya di Gedung DPR, Jakarta (Kompas.com, diakses tanggal 8 Oktober 2010).

Seperti mendapat durian runtuh. Dalam sehari, Timur naik pangkat dua kali. Siang bintang tiga, malam bintang empat. Skenario singkat ini sarat pertimbangan politik. Penilaian tidak didasari berdasarkan integritas dan prestasi.

Kedekatan Timur dengan Presiden Yudhoyono jadi faktor penting. Timur pernah bertugas sebagai pasukan perdamaian untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di Bosnia-Herzegovina pada 1995. “Dari sanalah muncul kabar dia dekat dengan SBY, karena sama-sama pernah bertugas di Bosnia,” kata Neta Pane, Ketua Indonesia Police Watch (Tempo edisi 19-25 Juli 2010).

Keesokan harinya, 6 Oktober, Marzuki mengundang Timur dalam sebuah pertemuan tertutup di DPR. Pertemuan ini mengundang kecurigaan. "Kami hanya bicara mekanisme fit and proper test, itu saja," kata Marzuki Alie (Tempointeraktif.com, diakses tanggal 7 Oktober 2010).

Uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) Timur di DPR diprediksi akan mulus. Pasalnya, partai-partai koalisi berada dalam satu barisan mendukung Timur. Bahkan, partai oposisi PDIP dan Hanura juga mendukungnya.

Dilihat dari rekam jejaknya, Timur punya catatan buruk.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang ditugaskan memberi penilaian kedelapan calon oleh Komisi Kepolisian Nasional, menilai Timur adalah calon yang terburuk dalam perspektif HAM.

Komas HAM mempertanyakan tanggung jawab Timur terkait penembakan empat mahasiswa Trisakti, pada 1998. Saat itu, Timur menjabat Kapolres Jakarta Barat. Sudah dua kali Timur dipanggil Komnas HAM, tapi Ia mangkir.

Saat menjabat Kapolres Jakarta Pusat, Timur juga tidak memberi penjelasan dalam kasus penembakan demonstrasi di Semanggi pada 1999, yang menewaskan seorang mahasiswa Universitas Indonesia Yap Yun Hap.

Saat jadi Kapolda Metro Jaya pun, Timur tak bisa menangkap pelaku penyiksaan aktivis Indonesia Corruption Watch Tama Langkun. Ia juga gagal mengantisipasi bentrokan di Ampera Raya, Jakarta Selatan, dua minggu lalu, yang menewaskan tiga orang.

Pada bulan puasa lalu, Timur merangkul Front Pembela Islam (FPI) dalam pengamanan daerah selama bulan Ramadhan. FPI dikenal sebagai organisasi yang anarkis dan sering melanggar HAM, tapi Timur tetap memberdayakan organisasi pimpinan Habib Mohammad Rizieq itu.

Kini, masyarakat menunggu penjelasan Presiden Yudhoyono. Alasan apa yang akan dikatakan sehingga Presiden yakin, Timur dapat membenahi korps seragam cokelat yang dinilai sebagai lembaga terkorup. Penjelasan “dia calon terbaik” adalah jawaban yang dangkal, dan tidak memuaskan rasa penasaran masyarakat.

Saturday, October 16, 2010

Press: The Fourth Estate

Pers sering disebut sebagai kekuatan keempat (the fourth estate) dalam struktur kenegaraan, setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Apa yang membuat pers menjadi institusi yang ditakutkan? Informasi! Informasi yang terakumulasi dapat membentuk opini publik (public opinion). Opini publik diperkenalkan oleh seorang wartawan dan ahli politik Amerika Serikat, Walter Lippmann dalam buku Public Opinion (1922). Buku ini menjadi penggagas kajian media di AS.

Opini publik dapat ditentukan melalui pendapat mayoritas yang efektif mempengaruhi pendapat minoritas. Sekali opini publik terbentuk, akan sangat sulit dihancurkan. Pers menyatakan opininya secara aktif. Bahkan, dalam berita sekalipun, ada pesan tersirat dan opini wartawan. Walaupun tidak terang-benderang.

Para tokoh besar dunia pun mengakui kekuatan pers. Berikut pernyataannya:

Thomas Jefferson (1743-1826). Presiden Amerika Serikat ketiga, masa jabatan 1801-1809. Ia salah seorang founding father AS dan pencetus Deklarasi Kemerdekaan (1776).

"Saya memilih memiliki pers tanpa negara, daripada negara tanpa pers."

Napoleon Bonaparte (1769-1821). Kaisar, Diplomat dan Panglima perang Perancis.

“Senjata api dan pena adalah kekuatan-kekuatan yang paling dahsyat di dunia. Tetapi, kekuatan pena akan bertahan lebih lama dibandingkan dengan senjata api. Saya lebih takut pada sebuah pena daripada seratus meriam.”

Winston Churchill (1874-1965). Perdana Menteri Britania Raya pada Perang Dunia II.

"Pena lebih tajam daripada pedang."

Benjamin Franklin (1706-1790). Seorang pemimpin Revolusi AS dan salah satu penandatangan Deklarasi Kemerdakaan AS. Ia juga seorang wartawan, penulis, penerbit, ilmuwan, diplomat, dan penemu.

“Bila saja Anda memberi 26 serdadu, maka saya akan menaklukkan dunia.”
Franklin menegaskan 26 serdadu itu ialah: “Huruf A sampai Z.”


Thomas Jefferson memandang fungsi media sebagai alat kontrol sosial. Ia menginginkan setiap daerah/negara bagian di AS memiliki media lokal untuk mengakomodir peristiwa-peristiwa lokal.

Dalam ranah politik, kekuatan strategis yang dimiliki media massa, sering digunakan untuk membentuk, meningkatkan, bahkan menghancurkan citra tokoh atau kelompok politik (agent of political). Itulah sebabnya para politikus sering menggunakan media untuk melanggengkan kekuasaan.

Kutipan Napoleon Bonaparte dan Winston Churchill, menggambarkan pena sebagai manifesto pers. Tak heran ada istilah; “buruh pena” untuk para wartawan. Media seolah bisa menjadi meriam pembantai dan pedang tajam.

Pernyataan Benjamin Franklin, memaknai kekuatan huruf alfabet sebagai bagian yang tak dapat dipisahkan dari kekuasaan. Dengan bahasa (kata, frasa dan kalimat) Franklin yakin dapat menaklukan dunia.

Dalam paradigma konstruksionis dan kritis, wartawan dipandang sebagai aktor relitas. Ia turut mendefinisikan dan memaknai peristiwa.

Saturday, September 25, 2010

Hari Tua Seorang Veteran

Bung Karno pernah berkata, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para Pahlawannya.

Bagindo Zainal Wahab, seorang veteran perang angkatan 45, berjalan dengan langkah kecil yang lambat. Dari kamarnya yang berada di lantai atas, Ia turun menghampiri saya di ruang tamu. Kami bersalaman. Ia mempersilahkan saya duduk.

Kopiah putih menutupi rambutnya yang beruban. Syal rumbai bermotif kotak, Ia kalungkan di lehernya. Banyak bintik hitam di sekitar wajahnya yang gempal. Mata sipitnya dikaruniai bola mata berwarna coklat. Ia tidak membiarkan kumis tumbuh di atas bibirnya yang tebal dan hitam. Tapi Ia membiarkan janggut menghiasi dagunya.

Saya sempat tidak enak hati karena harus membuatnya turun dari kamar. Ia kelelahan. Nafasnya terengah-engah. Lily Fatimah, istrinya, langsung memberinya segelas air. “Maaf ya, Bapak sakit asma. Jadi nafasnya megap-megap,” kata Lily.

Saya menemui Zainal pada 20 Juli 2010, di rumahnya, sekitar 500 meter dari terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur. Sejak 1965, Zainal bersama keluarganya sudah menempati rumah berukuran 7×15 meter itu. Meski berada di pemukiman padat penduduk, lingkungan rumahnya terbilang asri. Banyak pot tanaman menghiasi gang-gang kecil di sana.

Zainal yang kini berusia 78 tahun, mulai membuka pembicaraan. “Apa yang bisa saya bantu? Tapi saya sudah agak pikun.”

Di Indonesia, ada dua kategori veteran. Pertama, Veteran Pejuang Kemerdekaan. Meliputi para veteran yang berjuang dalam meraih kemerdekaan, sejak 1945 sampai 1949. Zainal termasuk kategori ini. Kedua, Veteran Pembela Kemerdekaan. Yaitu para veteran yang bertempur selama Trikora, Dwikora, dan Timor Timur, sejak 1975 sampai 1976. Pensiunan tentara yang tidak pernah berperang melawan musuh dari luar, tidak mendapat predikat veteran, hanya purnawirawan.

Sore itu, Zainal mengisahkan perjuangannya di tanah kelahiran, desa Sungai Limau, Padang Pariaman, Sumatera Barat. Ayahnya, Abdul Wahab, adalah kepala adat di desa itu. Sejak kecil, Zainal sering disuruh Ayahnya menggembala kerbau, sambil menjadi mata-mata jika ada pasukan Belanda mendekat ke desa mereka. Dengan memasang anak kecil sebagai mata-mata, pasukan Belanda tidak akan menaruh curiga.

Suatu hari, pada 1945, ketika usianya 13 tahun, Zainal disuruh Ayahnya pergi ke kota Pariaman, untuk mengambil surat penting dari Komandan Kompi Pagaruyung. Dalam perjalanan pulang, Ia dihadang beberapa tentara Belanda. Zainal ditanya dengan bahasa Belanda. Tapi Ia tak mengerti. Ia sudah ketakutan kalau-kalau pasukan Belanda itu memeriksa kantung celananya. “Entah apa jadinya jika surat itu direbut Belanda. Saya sendiri tak tahu isi surat itu,” katanya sambil menggelengkan kepala. Mungkin, karena Zainal belum dewasa dan terlihat lugu, tentara Belanda mempersilahkannya melanjutkan perjalanan tanpa memeriksa barang bawaannya.

Pada 1947, saat usianya 15 tahun, Zainal bergabung dengan Angkatan Darat Republik Indonesia. Ia tergabung dalam Kompi Bakapak yang berinduk di Pagaruyung, Padang Pariaman. Saat itu, usianya masih sangat belia. Tapi itu tak menghalangi niatnya untuk berjuang. Semangat kemerdekaan adalah modal utamanya. Zainal terpaksa membuat identitas palsu, dengan menuakan umurnya menjadi 18 tahun. Sebenarnya Ia kelahiran 11 Januari 1932, tapi tahunnya dipalsukan menjadi 1929. Alhasil, Ia bisa ikut berjuang melawan kolonial Belanda.

Baku tembak pertamanya dengan pasukan Belanda, terjadi pada Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Zainal berjuang mempertahankan desa Lubuk Alung, Padang Pariaman. Tapi sayang, Lubuk Alung berhasil direbut Belanda. Dalam Agresi Militer II ini, Belanda melanggar Perjanjian Linggarjati. Yang menyebutkan, Belanda mengakui secara de Facto wilayah Republik Indonesia meliputi Pulau Jawa, Sumatera dan Madura.

“Pasukan Pagaruyung punya persenjataan paling lengkap di Sumatera Barat. Karena itu, kami diinstruksikan pindah ke Jakarta, di tahun 1949. Untuk membantu pasukan Jakarta,” kata Zainal. Tapi, pada 1950, Zainal memutuskan keluar dari Angkatan Darat.

Selama berkisah, Zainal tak banyak menggerakan tangan dan anggota tubuh lainnya. Nada bicaranya pun datar. Sering kali Ia harus melihat catatannya untuk mengingat masa-masa perjuangan itu. Tapi, sering kali juga Ia menceritakan hal yang sama berulang-berulang. “Saya sudah lupa,” ujarnya.

Berbicara panjang membuatnya terengah-engah, lalu diikuti dengan bersendawa. Zainal harus berhenti sejenak untuk mengumpulkan energi.

Dari arah tangga, Lily berjalan ke arah saya, membawa map bening berwana kuning berisi dokumen. Ibu enam anak ini memberi tahu saya, bahwa suaminya tidak boleh terlalu lelah. Saya mengerti maksud ucapan itu. Zainal tak boleh menguras energinya dengan mengingat kejadian masa lalu. Karena akan berdampak pada kesehatannya. “Ibaratnya komputer, Bapak itu sudah eror,” kata Lily sambil tertawa. Zainal hanya tersenyum dingin mendengar ucapan itu.

Lily menyodorkan kartu tanda anggota veteran, piagam penghargaan dan medali perjuangan angkatan 45, yang semuanya atas nama Bagindo Zainal Wahab. Lily tak segan-segan memperlihatkan slip gaji tunjangan veteran yang pertama kali mereka terima, tertanggal 16 November 1995. Saat itu, Zainal menerima tunjangan sebesar Rp. 129.600,-. Lily mengumpulkan seluruh slip tunjangan yang mereka terima tiap bulannya.

Sebenarnya, Zainal tidak mau menerima tunjangan veteran itu, dengan alasan, berjuang demi kemerdekaan merupakan kewajiban warga negara. “Saya berperang hanya untuk kemerdekaan. Saya tidak mengharap apa-apa,” ujarnya.

Pertama kali, Ia ditawarkan dispensasi khusus ini pada 1967. “Waktu itu, petugas (Departemen Urusan Veteran dan Demobilisasi) mendatangi rumah saya. Meminta agar saya mengurus tunjangan veteran ini. Tapi saya tidak mengurusnya.”

Penolakan ini juga didasarkan pada keadaan ekonomi keluarga Zainal, yang saat itu, tergolong berada. Pada 1965, Ia mendirikan CV Bina Upaya. Usaha yang bergerak di bidang percetakan dan jasa penyediaan alat tulis kantor ini, terbilang sukses.

Kali keduanya, pada pertengahan 1995, seorang petugas dari Sub Direktorat Departemen Pertahanan, mendatangi rumahnya lagi. Menyarankan agar Zainal mau mengurus administrasi dispensasi khusus ini.

Putri tertua Zainal, Epi Nurhafizah, membujuk Ayahnya agar mau mengambil dispensasi khusus itu. “Ayah ambil saja. Ini kan hak Ayah juga. Sekarang Ayah masih bisa bekerja. Tapi kalau sudah tua nanti, Ayah pasti butuh uang lebih,” tukas Lily meniru ucapan putrinya. Dengan dorongan dan paksaan putrinya, Zainal pun mengurus administrasi dispensasi khusus tersebut.

“Sekarang (era reformasi) sudah agak mendingan lah. Apalagi Pak SBY ngasih dana kehormatan,” kata Lily. “Perhatian pemerintah jauh lebih baik dari sebelumnya. Tinggal dipertahankan saja,” sambung Zainal, pasrah.

Saya meminta slip tunjangan terakhir yang Zainal terima. Lily memperlihatkan slip bulan Juni dan tunjangan ke-13, tahun 2010 ini, sebesar Rp. 1.011.000,-. Jumlah tersebut belum termasuk dana kehormatan, sebesar Rp. 250.000,-.

Sejak dana kehormatan veteran ini diberlakukan pada 2008, Zainal belum pernah mendapatkannya, karena tidak mau mengurus administrasi. Lagi-lagi Zainal mengabaikan sesuatu yang menjadi haknya.

Kini, Zainal hanya ingin menghabiskan masa tuanya dengan hidup tenang. Ia mengingatkan, mengenang jasa para pahlawan, tak cukup dengan memperingati Hari Pahlawan pada 10 November saja. Menjamin hari tua para veteran juga tidak cukup. Dilakukan upacara pemakaman ala militer dan menguburnya di Taman Makam Pahlawan, juga tidak perlu. “Yang paling penting adalah, meluruskan sejarah yang sempat belok karena ada kepentingan di balik kepentingan,” harap Zainal.

Gayung Dipakai Minum, Gelas Dipakai Mandi

“Gayung dipakai minum. Gelas dipakai mandi.” Kalimat itu diucapkan Nur Rachmiati, atau yang akrab disapa Umi, pengurus Panti Asuhan Nurul Jannah.

“Simpel, tapi penuh makna.” Begitulah komentar salah satu teman menanggapi kalimat tersebut. Saya pun berpendapat demikian.

Relevansi antara gayung dan mandi, tidak dapat dipisahkan. Begitu juga dengan gelas dan minum. Memang sama-sama untuk menampung air. Tapi jika fungsi utamanya diubah, itu jelas suatu kesalahan. Karena keduanya memiliki nilai yang berbeda.

Mungkin ada yang berpendapat, itu hanyalah kesalahan kecil. Tak perlu dibesar-besarkan. Tapi jika dilakukan berulang-ulang, ini bisa menjadi kebiasaan buruk.

Esensinya, akal manusia dapat mengetahui dan memilah mana yang benar dan mana yang salah. Tapi, sering kali kita menganggap yang salah itu dapat dibenarkan. Bahkan bisa berbanding terbalik, yang benar jadi salah, yang salah jadi benar.

Mungkin, hal ini menjadi salah satu penyebab korupsi di Indonesia telah membudaya. Cakupan moralnya berubah menjadi sesuatu yang dapat dibenarkan. Apalagi, dilakukan secara massal dan terus menerus. Hingga akhirnya, korupsi dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Dimaklumi. Aristoteles menyebutnya; Mob Rule. Apa yang dilakukan banyak orang, itulah yang menjadi standar sekaligus aturan.

Belajar dari “Gayung dan Gelas,” seyogyanya kita dapat mengevaluasi diri atas kebiasaan-kebiasaan buruk yang selama ini sering kita benarkan. Semoga sebuah gayung tetap menjaga nilai dan fungsinya sebagai alat bantu yang digunakan untuk mandi. Dan sebuah gelas tetap digunakan untuk minum.